Friday, April 04, 2014

Sang Tokoh Emansipasi Wanita Indonesia : RA Kartini

Ibu kita Kartini putri sejati
Putri Indonesia harum namanya
Ibu kita Kartini pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini putri yang mulia
Sungguh besar cita- citanya bagi Indonesia

Tentu kita tidak asing dengan lagu ini kan ? Ketika kita masih kecil, masih duduk di bangku SD, dan pelajaran menyanyi pasti banyak di antara kita yang senang dan favorit menyanyikan lagu ini. Ya...lagu Ibu Kita Kartini karya WR Supratman ini pasti berkesan bagi kita, terutama para wanita Indonesia.

RA Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879 termasuk seorang puteri bangsawan. Ayah Kartini adalah RM Adipati Aryo Sosroningrat, bupati Jepara. Sosroningrat memiliki 2 isteri dan 11 anak. Isteri pertama( garwa padmi) sosroningrat adalah R Ayu Wuryan, sedang isteri kedua (garwa selir/ ampil) adalah Mas Ajeng Ngasirah. Kartini termasuk puteri Sosroningrat dari garwa selir/ ampil.

Setelah memasuki masa sekolah, Kartini dimasukkan ke Sekolah Kelas Dua Belanda. Di samping itu ia dan saudara- saudaranya mendapat pendidikan bahasa dan tatakrama Jawa dan mengaji Quran berikut pelajaran agama ( Kamajaya. 1982. 9 Srikandi Pahlawan Nasional. Yogyakarta: UP Indonesia Jogja, hal 58 ). Mereka mendapat pendidikan barat tapi tetap berpegang pada budaya Jawa. Mereka memiliki pandangan yang cukup luas, meski setelah usia 12 tahun Kartini dan saudara- saudara perempuannya harus dipingit.

Ketika menjalani masa pingitan tersebut, Kartini masih membaca buku karangan Multatuli, Minnebrieven ( Surat- surat Percintaan ). Dari buku tersebut Kartini mengetahui kondisi Indonesia yang tertindas dan pendidikan  pun diabaikan oleh pemerintah Belanda. Akhirnya Kartini menulis curhat melalui surat untuk teman- temannya, seperti Estella Zeehandelaar, EC Abendanon, MCE Ovink- Soer, Prof. Dr. GK Anton dan nyonya, Nyonya HG de Booij- Boissevain, HH van Kol dan nyonya, Mr. JH Abendanon dan nyonya. Kemudian oleh JH Abendanon, surat- surat tersebut dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah buku “ Habis Gelap Terbitlah Terang”.  Ia ( Kartini) sendiri menulis artikel dalam sebuah majalah yang berjudul “ Van een Vergeten hoekje” ( dari Sebuah pojok yang dilupakan ). ( Kamajaya: hal. 61 )

Tujuan yang diinginkan Kartini adalah wanita Indonesia bisa maju seperti wanita barat. Bukan berarti semua hal dari barat ditiru. Pendidikan barat baginya ( Kartini ) terutama adalah menambah pengetahuan sehingga orang barat dapat menghargai kepada bangsanya yang telah terdidik. Intinya hal- hal positif yang bisa mengangkat derajat bangsa-lah yang diambil, hal yang negative ditinggalkan.

Kartini sempat berkeinginan belajar ke Belanda dan mengajukan beasiswa bersama adik- adiknya, Kardinah dan Rukmini. Ternyata Kardinah dan Rukmini terlebih dulu menemukan jodoh dan menikah sehingga tidak bisa belajar ke Belanda. Akhirnya Kartini pun menyatakan pada MR Abendanon bahwa ia pun tidak ingin lagi belajar ke Belanda. Kartini hanya ingin belajar di Jakarta. Pada perkembangannya, beasiswa belajar ke Belanda diusulkan Kartini agar dialihkan untuk Agus Salim.


Sambil menunggu waktu belajar di Jakarta, Kartini membuka sekolah gratis di Jepara. Sekolah ini untuk perempuan dan pelajarannya meliputi menjahit, bahasa Jawa, memasak dan menyulam. Kemudian pada 8 November 1903 Kartini menikah dengan bupati Rembang, Joyoadiningrat. Joyoadiningrat adalah duda dengan beberapa anak. Kartini sangat menyayangi anak- anak tiri dan anak didiknya. Mereka diasuh seperti anak sendiri dengan penuh kasih sayang. Sampai akhirnya Kartini melahirkan puteranya dan pada tanggal 17 September 1904 Kartini wafat. Jenazah Kartini dikebumikan di desa Bulu, selatan Rembang. 

No comments:

Post a Comment