Perubahan Sosiologis
dalam Masyarakat Jawa
Sejak abad ke-17 sampai
19 di Jawa mengalami proses perfeodalan. Pergaulan hidup di Jawa terdiri dari
raja dan kaum bangsawan dengan rakyat tani. Proses perfeodalan terjadi tidak
lepas dari politik isolasi terhadap dunia luar. Bangsa Eropa yang datang ke
nusantara sangat berpengaruh kuat di Jawa. Akibatnya terjadi ketegangan
ekonomi, krisis ketatanegaraan dan militer. Raja Mataram melarang rakyatnya
melakukan pelayaran sehingga Jawa tidak mempunyai budaya pulau yang terbuka
dari pengaruh laut. Pengasingan diri terhadap dunia luar merupakan lahan subur
bagi perkembangan perfeodalan yang aristokratis dan berat sebelah karena tidak
dikenal golongan penduduk perkotaan.
Meski menutup diri
tetapi peradaban di Jawa tidak statis. Pigeaud membuktikan bahwa kebudayaan
wayang mengalami pertumbuhan selama beberapa abad. Sekitar 1800 kebudayaan Jawa
disebut kebudayaan pahlawan karena kebudayaan ini menghormati bentuk hidup
kebangsawanan. Kebudayaan ini berakar pada kebudayaan wayang yang memiliki arti
keagamaan, bisa menghalau bahaya/ penyakit serta bisa menjadi teladan dan
pelajaran dari sikap dan gerak badannya.
Peradaban Jawa
digambarkan oleh Hiuzinga bahwa manusia tidak merasa puas dengan kenyataan
sehari- hari di mana saja dan setiap waktu ia memimpikan hidup yang lebih
tinggi dan lebih inah. Untuk mencapai impian dapat melalui tiga jalan. Dan
ternyata peradaban Jawa mengikuti jalan yang ketiga yaitu jalan seni hidup. Di
sini hidup diwarnai dengan cita- cita yang indah, cita- cita pahlawan,
kesaktian serta kebijaksanaan atau kehidupan dalam alam dan kehidupan sesuai
kodrat alam.
Kebudayaan Jawa juga
disebut peradaban ksatria. Kebudayaan diwarnai dengan cita- cita ksatria kuno
sebagai bentuk yang mulia ( luhur ), penghormatan kepada pahlawan, tornoi dan
menjunjung cita- cita ksatria sederajat dengan etika dan agama, serta dihiasi
dengan kkeindahan dan kemuliaan. Kekuasaan seseorang dapat dilihat dari
kemuliaannya karena banyaknya pengikut yang setia dan penghormatan yang khidmat,
pengabdian dan kemuliaan. Di sini juga terdapat tingkatan pakaian dan warna
yang bisa memperlihatkan kekuasaan.
Menurut Rouffaer, dalam
periode Kartasura ( 1688- 1744 ) tata cara keraton dan bahasa keraton Jawa yang
baru memperoleh kesempurnaan dan keutamaannya. Sebelum tahun 1600 pemakaian
tingkat- tingkat bahasa Jawa tidaklah dalam jumlah dan bentuk seperti sekarang.
Selain itu wayang juga mengalami kemajuan baik dalam susunan, bentuk lakon,
music yang bermacam- macam dan lain- lain. Seni batik berkembang dan bertambah
dalam keanekaragaman warna serta coraknya setelah tahun 1500. Menurut Rouffaer
khusus periode Kartasura muncul sekolah seni rupa di daerah Solo- Yogyakarta
dengan keasliannya, suasana sopan dan semangat kebangsawanan.
Isolemen kebudayaan
tidak seimbang karena kedatangan Eropa di nusantara. Pigeaud menerangkan meski
bahasanya berbeda tetapi peradaban kalangan atas serta kesenian suku Sunda dan
Madura sangat dipengaruhi unsur- unsur ke-Jawa-an. Pengaruh Jawa di Madura
lebih kuat daripada di Jawa Barat karena banyaknya titik perhubungan di kota-
kota pantai. Pengaruh di Madura dating dari Jawa Timur dan pesisir utara Jawa
Tengah. Pengaruh- pengaruh Jawa tersebut terutama dalam penggunaan bahasa Jawa,
sedang kebudayaan wayang tidak begitu kuat pengaruhnya di Madura dan Jawa
Barat. Lain halnya di Jawa Tengah, di mana kebudayaan wayang Jawa kuno sudah
menjadi kebudayaan rakyat.
Seperti disebutkan di
atas, pergaulan hidup di Jawa terdiri dari raja dan bangsawan dengan bawahan
mereka yang terdiri dari rakyat tani. Struktur feudal di Jawa berbeda dengan
struktur feudal di Eropa pada abad pertengahan. Pertama, struktur feudal Eropa
berhubungan dengan system pinjam tanah ( lein stelsel ) dan milik tanah besar (
tuan tanah ) di Jawa tidak demikian. Kedua, kebangsawanan Eropa bersifat trun
temurun, sedang di Jawa tergantung pada keturuna raja hingga derajat keempat.
Sedangkan persamaan struktur feodal di Eropa dan Jawa adalah mengenai hubungan
antara kaum bangsawan yang memerintah dengan kaum petani yang diperintah.
No comments:
Post a Comment