Showing posts with label Cerpenku. Show all posts
Showing posts with label Cerpenku. Show all posts

Tuesday, July 11, 2023

Gelato dan Perempuan di Italia


https://nosbatti.com/best-gelato-milan/

Kau pernah mengisahkan gelato yang mendekatkanmu dengan seorang perempuan di Italia. Saat itu kau memang beberapa kali ke Italia. Menemani adikmu, Gladys, yang ingin menikmati romantisnya suasana Italia.

Perempuan yang kau ceritakan itu sangat menyukai gelato yang aku sendiri kurang paham, seperti apa gelato asli Italia. Gelato yang tampak serupa tapi tak sama dengan es krim itu begitu berkesan bagi kalian. Berbahan sama dengan es krim, tetapi gelato lebih sehat. Itu yang kau katakan. Aku sendiri tak mencoba untuk mencari informasi tentang makanan penutup di kawasan Italia sana.

Tak penting kalau bertemu hanya untuk membahas gelato. Kau tertawa saat aku tak mengetahuinya. Tawamu itu bukan mengejekku. Tawa geli karena melihat kepolosanku.

"Nanti suatu saat kuajak kau ke Italia ya, Sofie. Kutraktir gelato asli Italia deh!" Ucapmu iseng.

Kini, kutak mungkin bisa mengikutimu ke Italia. Sekalipun kau mengajakku tanpa harus membayar tiket pesawat. 

Kau terlihat kecewa karena kumenolak ajakanmu. Aku merasa tak pantas, tak boleh ikut tepatnya. Bukan karena aku tak ingin ke sana, namun saat ini aku tengah menantikan hari H pernikahanku. 

Tak mungkin aku meminta kado bulan madu ke Italia kan? 

***

"Sofie, kamu bikin kecewa mas Ahnafi," cerita Gladys.

"Kecewa?" Tanyaku. Aku terkejut saat mendengar penuturan adikmu itu.

"Iya. Dia menantikan waktu untuk bersamamu, eh ternyata kamu memilih lelaki lain sebagai calon suami".

Aku tertawa. Kukira adikmu itu tak tahu kalau kau telah menemukan seorang perempuan di Italia. Tak tanggung-tanggung, perempuan itu membuatmu jatuh hati dengan gelato. 

"Kamu bercanda, Dys".

"Bercanda gimana?"

Kuceritakan tentang perempuan yang ditemuinya di Italia. Betapa dia mengubahmu menjadi sosok yang sukses.

"Dia tuh cuma ngarang, Sofie! Nggak ada cerita perempuan itu. Kalaupun iya, maka perempuan itu aku!" Ucap Gladys sambil telunjuknya mengarah ke dadanya.

Aku terhenyak. Tak percaya dengan ucapan adikmu. 

"Mas Ahnafi ingin tahu responmu saat bercerita tentang perempuan di Italia, Sofie. Dia menyukaimu sejak dulu".

***

Ahnafi, kuharap kau bisa belajar dan tidak membuat drama untuk menemukan perempuan dambaanmu. Jangan kau lakukan lagi membuat karangan yang membuatmu kehilangan asa untuk bersama dengan orang yang kau kasihi.

Berbesar hatilah, Ahnafi. Hatiku telah dimenangkan lelaki lain.


Branjang, 10 Juli 2023

Monday, July 10, 2023

Dear, Me!

 

Edit dengan Canva. 

Hai, diriku…

Selamat malam. 

Sudahkah kau makan dan mengistirahatkan lelahmu sejenak hai, diriku? Ingat, kau jangan ngoyo menjalani aktivitasmu. Sakdermo, ukur baju sendiri. Tak perlu kau lihat orang lain yang bisa beraktivitas ini-itu hingga tengah malam.

Dear, me!

Kau pernah merasakan betapa takutnya saat kau tak bisa tidur. Kata orang-orang, itu karena penyakit pikiran. Dan aku tak menolak anggapan mereka.

Nyatanya aku memang banyak pikiran. Mulai dari takut dari ancaman covid, takut menghadapi anak yang tantrum dan banyak hal yang harus kulakukan hingga itu semua menjadi beban pikiran.

Alhamdulillah, dengan usaha dan doa, semua berangsur normal. Kuberharap kamu tetap sehat ya! Tak hanya sehat lahir, tapi juga batin. Demi anak-anakmu!

Sekali lagi, ukur bajumu ya! Tak perlu mencari kegiatan yang bisa mengakibatkan memburuknya kesehatan raga dan mentalmu. 

Menyayangimu adalah prioritas bagiku hai, diriku. Hanya kau yang bisa mengendalikan dirimu. Bukan kata orang-orang di luar sana. Masa bodoh. Cuek saja. Jauhi mereka yang sekiranya menjadi racun bagimu. 

Ingat hai, diriku. Kau berhak untuk menjalani sisa hidup dengan nyaman. Dengan begitu, kau akan lebih enjoy dan bersemangat meraih ada dan cita-citamu. Juga enjoy untuk mengantarkan anak-anakmu dalam meraih sukses dunia-akhirat.

Kini, waktunya istirahat. Nyenyaklah tidurmu, esok hari kau kan temui hal yang indah dan dimudahkan segala urusanmu. Bismillah, bismika Allahumma ahya wabismika amuut.

Love you, diriku…❤️❤️❤️



Branjang, 10 Juli 2023

Tuesday, June 27, 2023

Di Mana Kau Ada

Di Mana Kau Ada
Desain dengan Canva. Dokpri 

Bagaimana keadaanmu kali ini? Apa kau merasa kesepian setelah perselisihan kita? Apa kau masih memikirkanku? Sementara dulu aku sering menyakitimu.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benakku. Semua tak terjawab. 

Entah kenapa aku sering kepingin tahu tentang keadaanmu. Teman-teman bilang kalau aku tak bisa move on dari bayangmu.

Di sisi lain, mereka menilaiku tak tahu diri. Masih berharap ada secercah harapan untuk merengkuh hatimu lagi. Bahkan adik perempuanku pernah berkata kalau dia akan melakukan hal yang sama jika aku diperlakukan seperti perlakuanku padamu.

Dulu aku memang menyia-nyiakanmu. Setiap ada pesan atau telepon, sudah pasti aku marah-marah. Kumerasa seperti anak kecil yang terus ditanya ini-itu olehmu. 

Di tengah kemarahanku, aku berkata padamu kalau aku ingin bebas. Perkataanku itu lebih ke luapan emosi. Kuhardik kau. 

Waktu itu hujan pertama di musim penghujan setelah lama paceklik. Tak kulihat air matamu. Aku bersyukur, air matamu tak tumpah saat itu. Aku paling benci kalau kau menangis. Terlihat cengeng. Benar-benar memuakkan.

Setelah perselisihan itu, lama kau tak menghubungiku. Pada awalnya aku puas dan merasa kau sangat pengertian. Namun, setelah beberapa minggu kau tak menyapaku, kumerasa ada yang hilang.

Kumencoba menghubungimu. Nihil! Nomormu tak bisa kuhubungi lagi. Kuperiksa nomor kontakmu, apakah memang nomorku kau blokir atau memang kau menghindariku.

Aku kalang kabut. Tak percaya kalau kau yang begitu peduli padaku, tak meninggalkan jejak sama sekali. 

Saat ke kost-mu, kau sudah tak ada. 

"Pink sudah seminggu ini pindah kost, Rul". 

Ucapan ibu kost-mu, Bu Ririn, benar-benar menghentakkanku. 

"Apa Bu Ririn tahu ke mana pindahnya?"

Bu Ririn menggelengkan kepala. Lalu meninggalkanku. Entah, beliau mau pergi ke mana.

***

"Syukurin! Makanya jadi cowok itu jangan sok ganteng. Jangan sok kuasa. Tahu rasa kan kalau tak dipedulikan itu seperti apa?"

Adikku tergolong dekat denganku. Hubunganku denganmu kuceritakan padanya. Termasuk kekesalanku karena kau terlalu berlebihan.

"Jadi, aku harus bagaimana?" Kugaruk keras kepalaku. 

"Kampus," ucap adikku singkat.

Ya…aku harus ke kampusmu. Sebelum terlambat. Kugeber motor dengan cepat. Berharap bisa menemukanmu di kampus.

Sesampai di kampusmu, kutunggui kau di tempat seperti biasa. Di tempat itu kuingat bagaimana saat kau keluar dari kompleks kampus dengan senyum manismu. Atau sedikit rajukan kalau aku terlambat menjemputmu. Senyum manis dan rajukanmu kini kurindukan. Tak pernah kumerasa serindu ini padamu.

**

Kulihat langit tanpa awan namun tak terlalu panas. Begitu teduh. Namun hatiku galau setengah mati.

Tak kutemukan kau di kampus. Bahkan ketika kutanya kepada beberapa temanmu dan staf karyawan di kampus, tak ada keterangan apapun. Aku tahu, mereka tak hanya mengurusi satu orang. Punya urusan banyak.

Untuk menanyakan kepada rumput di taman kampusmu pun tak kutemukan jawabnya. Tak ada petunjuk apapun. Langit juga tak menunjukkan tanda akan keberadaanmu.

"Sudah waktunya kau ikhlaskan mbak Pink, mas. Mulai sekarang kamu harus lebih bijak kepada siapapun perempuan yang akan menggantikan mbak Pink," ujar adikku setiba di rumah.

Adikku tak tahu, betapa berharganya kau bagiku. Namun, kuharus belajar bersabar untuk bertemu denganmu lagi, Pink. Kuharap kau tak menemukan kenyamanan dari hati lelaki lain. Aku janji akan lebih dewasa nantinya.



Branjang, 27 Juni 2023

Sunday, June 18, 2023

Hati di Semburat Lembayung Senja

Senja di Melikan. Dokpri

Semburat lembayung di senja ini meninggalkan kegelisahan di hati. Aku sudah cukup umur untuk berumah tangga, namun di hati kecilku, aku terus berharap akan hadirmu. 

Tujuh tahun silam kau menjanjikan untuk menemuiku lagi. Saat itu kita baru saja lulus SMA di sebuah pesantren. Karena melihat capaian selama belajar di pesantren dan saling memendam perasaan, kau akhirnya mengajukan permintaan kepada ibumu untuk mengkhitbahku. 

Keinginan itu ditolak keluargamu. Begitupun keluargaku. Mereka menilai pernikahan kita terlalu dini jika segera dilaksanakan. 

Alhasil, keluargamu dan keluargaku mengajukan syarat yang cukup berat. Kau harus kuliah dulu di luar negeri, beasiswa telah kau kantongi. 

Ibumu tidak ingin kalau belajarmu terbengkalai nantinya. Kau mengiyakan permintaan ibumu, perempuan yang membesarkanmu seorang diri, setelah ayahmu berpulang ke pangkuan Illahi.

Aku sendiri juga diminta untuk kuliah di dalam negeri. Keluargaku tak ingin berjauhan denganku.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa, dik Arin. Ibu segalanya bagiku. Nanti kalau dik Arin menemukan lelaki lain dan direstui orangtua, menikahlah dengannya. Namun kalau mau menungguku, tunggulah tujuh tahun lagi," begitu pamitmu.

***

Kini, tujuh tahun sudah aku menanti janjimu. Namun tak ada tanda-tanda kau akan menemuiku. Sementara ada rencana keluargaku untuk menjodohkan dengan lelaki lain.

Aku benar-benar galau. Harus berbuat apa. Aku hanya ingat janjimu. Selama ini aku yakin kalau kau akan menepati janjimu.

Pada akhirnya, kuingat pesanmu dulu dan doa di setiap sepertiga malamku. Kuhanya berdoa untuk diberikan jalan terbaik. Jika memang kau ditakdirkan untuk menjadi jodohku, pasti akan didekatkan oleh Allah. Namun jika sebaliknya, aku ikhlas untuk menjalani hidup bersama lelaki pilihan kedua orangtuaku.


#draft flash fiction yang diikutkan dalam naskah buku Lembayung dari Ellunar.


Zahrotul Mujahidah 










Wednesday, August 31, 2022

Nama Muridku Khilaf

ilustrasi: lektur.id


Nama muridku Khilaf. Tak tahu kenapa bapaknya ngasih nama itu. Yang kutahu, bapaknya memang punya sifat yang agak aneh.


Pernah bapakku memprotes. Ah, bukan! Tapi mengarahkan si bapaknya Khilaf untuk mengubah nama sang anak. Dengan nada bertanya, "kenapa anakmu dikasih nama Khilaf? Ngasih nama itu yang bagus!"


Ada saja jawaban dari bapaknya Khilaf. Alhasil sampai saat ini muridku yang jarang mandi saat berangkat sekolah itu tetap bernama Khilaf.


Branjang, 31 Agustus 2022

Monday, April 04, 2022

Contoh Pidato Perpisahan Siswa SD Muhammadiyah Branjang

 Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Yang terhormat bapak/ibu kepala sekolah.

Yang terhormat para dewan guru dan karyawan.

Yang terhormat orang tua kami serta tamu undangan.

Teman-teman sekalian yang saya banggakan.


Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur atas rahmat Allah SWT karena atas rahmatNya dan yang telah memberikan nikmat iman, islam serta nikmat sehat, dan kita dapat berkumpul di sekolahan ini dalam rangka perpisahan sekolah.


Ibu-bapak guru, tak terasa enam tahun saya dan teman-teman belajar di SD Muhammadiyah Branjang ini. Pastinya selama bersekolah di sini, kami telah banyak melakukan kesalahan dan membuat bapak dan ibu guru marah terhadap tingkah laku kami. Saya mewakili teman-teman siswa kelas 6 mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya.


Kami sadar bahwa itu sudah menjadi tugas bapak-ibu guru untuk membimbing kami. Karenanya kami sangat berterima kasih kepada ibu-bapak guru yang telah mengajar dan mendidik kami di sekolah ini dengan ikhlas, sangat baik, sabar dan tidak mengenal lelah dalam membimbing kami sehingga kami pun dapat lulus dari sekolah ini.


Mudah-mudahan semua jerih payah dari semua guru menjadi amal jariyah. Tak lupa kami mendoakan, semoga ibu-bapak guru diberikan kesehatan, kekuatan dan kesabaran dengan baik dan diberi kebahagiaan selalu. Aamiin


Kami mohon doa restu ibu-bapak guru, agar ke depannya kami diberikan kemudahan dan kelancaran dalam bersekolah sehingga kami menjadi orang yang sukses dunia-akhirat.


Untuk teman-teman semua, mari lanjutkan perjuangan kita untuk dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi lagi. Mengejar dan mewujudkan cita-cita kita.


Akhir kata sukses selalu buat teman-teman, semoga doa guru-guru kita dan Allah selalu menyertai kita semua. Aamiin.



Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Thursday, September 16, 2021

Aku Sudah Vaksin

Aku sudah vaksin. Foto: Zahrotul Mutoharoh

Hai… aku Azza. Sekarang ini aku duduk di kelas VI. Hobiku bermain plastisin, menggambar dan membaca buku.

Aku memiliki dua adik. Shifa kelas IV dan Raffa masih balita. Kalau kami berkumpul pastilah ramai dan ribut. Ada saja yang membuatku kesal. Tapi kalau tak bertemu mereka, rasanya sepi juga.

Aku sering tidur di rumah Simbah. Menemani Simbah dan bulikku. Di rumah Simbah, aku diajak hafalan surat-surat pendek. 

Kalau bosan, aku biasanya menonton televisi. Tayangan berita, dan tayangan berbau pengetahuan sangat aku sukai.

Dari menonton televisi itu aku tahu berbagai berita. Termasuk berita vaksinasi untuk menekan dan mencegah kena covid.

Aku sering bertanya kepada ibu, kapan aku bisa vaksin. Ya karena aku sudah berusia dua belas tahun bulan Juli kemarin.

"Di berita tivi itu sudah ada vaksin buat anak usia 12 tahun. Lalu aku kapan, Bu?"

Ibu sudah paham kalau aku pasti sering menanyakan hal itu. 

"Tunggu kabar dari puskesmas ya, ndhuk…" begitu kata ibu.

**

"Za, ibumu mendaftarkan kamu vaksin. Mau nggak?" Tanya Bulik.

"Yang bener, Bulik?" Tanyaku.

"Iya. Vaksinnya di Balai Desa. Tanggal 14 September."

Rasanya aku tak sabar untuk vaksin.

**

Tanggal 14. Aku mandi dan sarapan. Lalu bersiap-siap untuk ke Balai Desa. 

Oh iya. Untuk vaksin kali ini aku diantar Bulik. Soalnya ibu mau periksa ke dokter. 

Aku ke Balai Desa pukul delapan lebih. Sesampai di sana, banyak sekali orang yang mendaftar dan mengikuti vaksin. Oleh Bulik aku diantrikan. Nomor antriku 154. 

Lama juga menunggu vaksinnya. Setelah mendaftar, suhu tubuh dicek. Tensi juga. Baru setelah cek suhu dan tensi, aku disuntik oleh pak dokter.

Setelah disuntik vaksin, aku dan orang yang ikut vaksin menunggu kartu vaksin. Selama 30 menit. Untuk mengetahui reaksi tubuh setelah vaksin.

Selama menunggu 30 menit, seorang dokter mengumumkan kalau vaksin merupakan salah satu usaha untuk sehat. Bukan berarti divaksin lalu tidak kena covid. Tetapi orang yang divaksin itu kalau kena covid maka tidak akan parah.

***

Setelah 30 menit, namaku disebut oleh petugas. Lalu ditanya, apa yang kurasakan setelah divaksin.

"Lenganku pegal-pegal," jawabku.

Lalu petugas memberikan kartu vaksin kepadaku. Kartu itu kuserahkan kepada Bulik, setelah berfoto di Balai Desa dengan memegang kartu vaksinku.

Alhamdulillah. Aku sudah vaksin meski masih SD. Semoga aku, adik-adik, ibu, bapak dan semua keluargaku sehat. 


Thursday, September 02, 2021

Perpustakaan Kampus dan Lapangan Sepakbola

 Perpustakaan Kampus dan Lapangan Sepakbola


Lekat di ingatanku, kita sering ke perpustakaan kampus saat jam kuliah kosong. Sekadar membaca novel atau mencari buku literatur untuk tugas kita. Di ruang baca. Ruang baca perpustakaan kebetulan bersebelahan dengan lapangan Fakultas Ilmu Keolahragaan. 


Di sela membaca, kita mengamati para mahasiswa program studi olahraga. Yang kuingat, mereka sering bermain sepakbola di bawah terik matahari.


Dari beberapa mahasiswa yang berolahraga itu ada sosok yang kamu kagumi. Aku tahu. Kamu memberitahukannya padaku.


Kita memperbincangkan sosok itu. Fathurrahman namanya. Sering kamu sapa Rahman. Kita memandangi Rahman dan teman-temannya. Sesaat lalu Rahman memandang ke arah jendela perpustakaan yang saat itu berupa jendela bening. Siapapun di dalamnya pasti terlihat.


Senyum Rahman yang manis membuatmu benar-benar fall in love. Aku mengambil kesimpulan kalau kamu ke perpustakaan kampus tujuan utamanya mau melihat Rahman. Mencari buku literatur untuk tugas hanya tujuan sampiran.


Buktinya kamu sering tak membaca buku dan mencatat kalimat yang akan menjadi kutipan di tugas makalah. Apalagi kalau tugasnya berkelompok atau berdua. Pasti kamu buru-buru menggamitku. Artinya aku harus sekelompok denganmu. Dengan begitu kamu bisa "titip nama" di makalah kelompok.


Ah...sudahlah. Kukira tak perlu kubahas lagi tentang hal itu. Apalagi membahas tentang Rahman. 


Namun kini kuingat lagi, saat kamu minta tolong diajari membuat tulisan yang bagus. Permintaanmu itu merupakan kali pertama kamu minta tolong setelah sekian puluh tahun tak bersua. Aku memang iseng mengunggah karya pertamaku di Facebook. 


"Kapan-kapan kita ke perpustakaan kampus yuk. Sambil melihat mahasiswa yang main bola," candaku saat membalas komentarmu.


***

"Sudah. Nanti luka lama muncul lagi, dik". Suamiku, mas Fathur, memberikan masukan padaku setelah mengetahui komentar demi komentar pada akun Facebook-ku.


Ya… saat akhir masa kuliah kita berseteru. Kamu marah besar padaku. Kamu menganggap aku pagar makan tanaman dan sebutan lainnya yang menyakitkan. 


Waktu itu, saat kita wisuda, Rahman sapaan pujaanmu menemuiku. Dibawakannya buket bunga merah muda untukku, bukan untukmu.


Alhasil, di hari bahagia kita, berubah menjadi kesedihan. Kamu marah. Sementara aku terpaku di dekat menara Gedung Rektorat. Orangtua dan saudara-saudaraku tengah beristirahat di sisi timur Rektorat.


Tak kuterima buket bunga merah muda dari Rahman. 


***

Cinta segitiga mewarnai persahabatan kita. Kamu mencintainya. Dia mencintaiku. 


Lalu bagaimana denganku?


Jika kita menonton film Bollywood Kuch-kuch Hota Hai, aku menjadi Tina-nya. Tentu kamu ingat itu. Aku yang semula tak begitu mengenal dan mencintai Rahman-mu, karena aku KKN di kelompok yang sama dengannya, bersemilah cinta itu.


Namun perasaan itu kupendam. Sakit rasanya. Tapi demi persahabatan, aku rela menyembunyikan perasaanku.


***

"Itu masa lalu. Nggak usah ke perpustakaan lagi. Toh kamu sudah melihatku setiap hari di rumah 'kan?"


"Iya, mas Fathur…"


Rahman atau Fathur memang kutemui setiap hari. Sering mengajak jagoan-jagoannya, yang juga jagoanku, bermain bola di halaman rumah.







Sunday, November 03, 2019

Cerpen| Kemarau Kali ini

Kemarau Kali ini

Kemarau panjang tahun ini sepertinya merata hampir di seluruh wilayah negeri. Dampak kekeringan sangat terasa. Udara panas, matahari panas menyengat. Membuat gerah tubuh.

Tak hanya manusia, tumbuhan mulai kering, bahkan terlihat ada yang mati mengering. Pepohonan jati sudah meranggas, pertanda pepohonan mengurangi penguapan, menghemat cadangan air agar tetap bertahan hidup. 

Sawah- sawah sudah nelo. Nyaris tak ada padi yang menghasilkan bulir padi yang penuh. Sawah terancam puso. Ya sawah kekurangan air. Tak jarang para petani yang nekat mengolah sawahnya harus berebut aliran air. Atau kalau tidak, mereka yang bisa dikatakan berduit harus ndhiselke, mengalirkan air dari sungai yang jaraknya cukup jauh dan airnya juga mulai menyusut. Tak masalah harus mengeluarkan uang, yang jika dibelikan beras pastinya bisa mendapat berkarung- karung. Ya jiwa petani benar mendarah daging pada mereka. Mereka berpikir kalau sawah tak diolah maka nanti akan membuat pengeluaran semakin besar di musim tanam lagi.

Hal itu ditambah lagi dengan ilmu yang diperoleh dari penyuluhan dalam Keluarga Kelompok Petani. Mulai cara pengolahan, pemupukan dan sebagainya mereka pelajari lebih detail dari pakar pertanian. Itulah yang semakin memacu para petani tetap mengolah sawahnya. 

Saat ini para petani gigih itu tengah berbahagia karena di tengah musim kemarau panjang, padi telah dipanen dan selesai dijemur. Gabah disimpan di gudang sebagai persediaan beberapa bulan. Saatnya menikmati hasil panen. Jerih payah mereka tak sia- sia.

Namun masalah lebih besar muncul. Apalagi kalau bukan masalah air. Di tempat kami dikenal sebagai dusun yang tak pernah kekurangan air meski musim kemarau dan berada di wilayah kabupaten Gunungkidul. Kali ini kami merasakan sulitnya mendapat air. 

Belik atau pemandian yang selalu melimpah airnya menjadi kering sama sekali. Sumber air tak memunculkan air lagi. Sungguh luar biasa kemarau kali ini. Padahal di belik ini anak- anak sering jeguran. Di sisi luar belik ada pengangson yang fungsinya untuk keperluan air bersih warga.

"Belike wis ora isa nggo jeguran. Asat greng…"

Begitu kabar yang kuberikan kepada warga dusun yang merantau di luar provinsi. Banyak reaksi dari kabar yang aku berikan.

"Ya Allah, tenanan iku, dik?" 

"Rasanya nggak mungkin kalau dusun kita kekeringan seperti itu…"

Masih banyak lagi komentar lain yang berisi kenangan mereka ketika bermain, bersendagurau, mandi di belik.

"Nggon pengangson piye kuwi, mbak…?"

Ya. Kabar tak baik itu harus mereka ketahui. Dusun tercinta kami sudah tak seperti dulu. Yang dulu air melimpah, menjadi kering.

Tak heran ketika mulai memasuki bulan November, kami menyambut bahagia saat dini hari ---sekitar pukul 02.00--- gerimis menyapa telinga kami yang sudah terlelap. 

Warga yang terbiasa bangun di sepertiga malam akhirnya keluar rumah demi meyakinkan kalau gerimis memang turun. Bau ampo, tanah yang tersiram air hujan, menusuk hidung kami. Khas sekali harumnya.

Harapan kami, musim hujan segera menggantikan kemarau panjang. Berharap mendung hitam yang menggantung di atas tanah kelahiran kami benar sebuah tanda musim hujan tiba. Air yang diturunkan dari langit olehNya adalah hujan yang bermanfaat, bukan yang membawa bencana. 

Thursday, October 31, 2019

Cerpen | Gadis yang Kulempari Batu itu Jadi Jodohku

Gadis yang Kulempari Batu itu Jadi Jodohku

Dunia anak yang kualami menjadi kisah yang sangat berkesan bagiku. Aku termasuk anak lelaki yang pendiam namun sekali ada yang menggangguku, meski tanpa sengaja, pasti aku mudah tersulut emosi.

Aku ingat, bu guru yang terkenal sabar saja sampai murka ketika perilakuku tak berubah. Pernah teman lelaki yang tanpa sengaja mencoret gambar untuk tugas mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, aku pegang kerahnya penuh emosi. Atau kisah lain, teman- teman putri yang sering ramai dan ceriwis ---meski bu guru atau pak guru sedang mengajar--- ngerjai aku. Pantatku disogok menggunakan sapu ijuk. Itu berulang kali dilakukannya. 

Saking merasa kesal ---karena dikerjai--- aku mangkel. Waktu itu waktu istirahat pertama. Untuk memberi pelajaran anak- anak perempuan itu, kuambil batu sebesar kepalan tanganku. Tanpa pikir panjang kulempar ke arah mereka. Berhasil! Batu itu mengenai salah satu di antara mereka. Aku puas! Aku yakin mereka sudah pasti tak berani lagi menggangguku.

Namun ternyata akibat dari lemparan batu itu mengenai kepala bagian kanan belakang Pipit. Menangislah dia. Oleh teman perempuannya, Pipit diajak ke kantor. Sudah pasti mereka melaporkan kelakuanku. Lengkap sudah! Catatan khusus di Buku BK pasti bertambah. Aku tak peduli.

Tak berapa lama aku dicari teman- teman.

"Nafi, kamu dicari bu Iqom!"

Nah...benar kan? Aku dilaporkan kepada guru paling senior di sekolahku. Semua siswa sangat segan pada beliau. Mau tak mau aku menuju kantor guru. Aku menyiapkan kalimat pembelaan diri agar tak kena marah untuk kesekian kalinya di bulan ini.

Setelah sampai kantor, ternyata di sana sudah ada simbah kakungnya Pipit. Beliau sudah pasti marah padaku. Aku hanya mendengarkan saja. Waktu itu bu Iqom yang mendampingiku. 

Setelah puas dimarahi, bu Iqom menasehatiku. Aku tak boleh mengulangi perbuatanku karena mencelakakan teman perempuanku. Kata bu Iqom, siswa lelaki harusnya melindungi dan menjaga siswa perempuan. Bukan malah menyakiti.

Bu Iqom menuntunku untuk minta maaf pada simbah kakung Pipit.

"Mbah, kula nyuwun ngapunten. Kula mboten ajeng mbaleni malih…"

Simbah kakung Pipit menerima uluran tanganku. Namun beliau masih wanti- wanti kalau aku mengulangi lagi perbuatanku maka tak segan- segan beliau akan melaporkan ke polisi. 

Bu Iqom lalu menasehatiku juga agar besok paginya kalau Pipit masuk sekolah, aku meminta maaf padanya. Sekarang ini Pipit berada di Puskesmas dengan diantar guru kelas kami, Bu Sari.

**

Delapan tahun kemudian --- setelah kami tak pernah bertemu karena sekolah kami tak sama--- aku dan Pipit dipertemukan lagi dalam kegiatan KKN. Ya...kami kuliah di satu kampus. Beberapa kali bertemu dan hanya saling tersenyum. 

Barulah kami bisa bicara dalam KKN. Kebetulan kami satu kelompok. Semula aku canggung untuk bicara dengannya namun aku tak mungkin diam terus selama KKN. 

Aku menanyakan kabarnya dan keluarganya. Oh iya, Pipit menjadi lebih cantik, anggun tetapi masih sedikit cerewet. Apalagi kalau ngobrol dengan anggota kelompok yang putri. Ramai sekali. Bisa mengalahkan keramaian pasar tradisional.

Aku memaklumi saja. Bagaimanapun aku masih sedikit hafal dengan perilakunya. Aku tak mungkin mencari dan membuat masalah di lokasi KKN. Diapun begitu. Soalnya resiko kalau harus sering bertengkar seperti masa kecil kami. Bisa- bisa program KKN kami kacau.

**
Dua tahun kemudian Pipit wisuda. Sedangkan aku wisuda terlebih dahulu. Bisa dibilang aku termasuk mahasiswa yang bisa memanfaatkan waktu. Bukan mahasiswa cerdas lho. Jadi, aku bisa lulus lebih cepat. Termasuk angkatan pertama dari seluruh teman seangkatan.

Aku mendatangi wisudanya. Aku sudah berjanji padanya ketika gladi bersih.

"Kamu nggak takut bertemu simbah kakungku, Naf?"

"Nggak, Pit. Kenapa musti takut?"

Pipit tertawa. Aku sebenarnya merasa khawatir juga. Aku ingat ketika simbah kakung Pipit marah padaku di kantor guru pada masa SD dulu. Tetapi aku harus mengalahkan rasa takutku. Bagaimanapun aku dan Pipit berkomitmen untuk saling melengkapi, menjaga sampai akhir hayat kami.

Dulu aku memang nakal pada Pipit namun dalam proses pertemanan kami, hubungan kami akan berlanjut ke jenjang pernikahan.

Saat ini, aku deg- degan luar biasa menantikan esok hari. Esok hari adalah acara suci bagiku dan Pipit, ijab kabul. Ada senyum yang mengaburkan kegalauanku, gadis kecil yang kulempari batu ternyata menjadi jodohku.

Tuesday, October 29, 2019

Cerpen| Bingkisan Tak Sampai

Bingkisan Tak Sampai
ilustrasi: bibitbunga.com

Duapuluh delapan tahun usiaku saat ini. Di usia menjelang kepala tiga ini aku bermaksud mengunjungi orang yang begitu berarti dalam hidupku. Orang itu telah mengubah perilaku usilku dulu.

Di masa kecil, aku adalah anak lelaki yang sering membuat guruku kalang kabut, kehilangan cara untuk memotivasi dan memperbaiki kelakuan liarku. Di saat teman- teman belajar bersama bu guru, aku malah main di empang dekat sekolah atau makan mangga atau makanan lain di luar kelas.

Aku bisa menikmati itu semua cukup dengan minta izin ke kamar mandi. Atau kalau tidak, aku menyelinap keluar kelas ketika bu guru mengoreksi tugas kami. Di saat mengoreksi itu, biasanya memang bu guru dikerumuni teman- teman yang penasaran dengan hasil dan nilai tugasnya.

Nah, di saat itulah aku leluasa keluar kelas tanpa sepengetahuan bu guru. Begitu selesai mengoreksi dan membagikan buku tugas, barulah bu guru menyadari bahwa aku sudah tak ada di kelas lagi.

Pernah secara tiba- tiba, dari jendela kelas, bu guru berkata dengan suara agak keras sambil melihat ke arahku, "Enaknya, jam segini makan mangga… "

Aku kaget bukan main. Aku segera menuju ke kelas tanpa rasa berdosa. Aku memang termasuk murid yang ndableg. Siapapun gurunya aku tak pernah ambil pusing kalau dimarahi. 

Namun dalam perkembangannya, aku pernah melakukan kesalahan besar. Saat itu aku tak mengerjakan tugas untuk kesekian kalinya, lalu aku diingatkan oleh bu guru. Di tengah aku menjawab pertanyaan bu guru, Yuli, salah satu temanku kupukul kepalanya hingga dia menangis. Bahkan teman- teman yang putri lainnya dalam satu hari kupukul hanya karena alasan sepele.

Bu guru marah sekali padaku. Bu guru mengingatkan kalau aku tak boleh mengganggu teman.

"Kalau kamu merasa keberatan dengan tugas itu, kamu setidaknya tidak mengganggu teman…"

"Sak karepku to…" sahutku. 

"Kamu diingatkan kok begitu. Bu guru bisa marah..." ucap bu guru.

"Marah saja. Mengko ta antil…" (nanti kuhajar), ucapku saat itu. Aku yakin bu guru sangat sakit hati padaku. Namun bu guru sering melupakan kenakalanku demi melihatku menulis. Meski aku tak bisa membaca kata- kata yang kutuliskan. Aku menulis bukan perkata, tetapi perhuruf. Akibatnya tulisanku tak rapi dan tanpa spasi atau jarak perkata.

Kalau aku mengingat kenakalanku waktu SD dulu, aku merasa bersalah dan berdosa. Untuk itu aku berusaha menemui orang terkasih, yang sangat berarti untukku. Ya, bu guruku. Bu Sari. 

Aku melakukan napak tilas ke sekolahku dulu. Bangunannya lebih modern, bersih, indah. Tak ada lagi sudut sekolah tempatku bersembunyi untuk makan buah mangga waktu itu. Tempat itu saat ini menjadi ruang perpustakaan yang megah. Sungguh berbeda jauh dengan kondisi sekolah ketika aku belajar di sana.

Aku menuju ke ruang guru. Ruangan itu sudah berpindah. Aku harus bertanya pada satpam sekolah untuk menemukannya. Sedang ruang guru yang lama, sudah rata dengan tanah dan beralih fungsi menjadi lapangan basket.

"Bu Sari sudah purna, mas…" ucap satpam itu ketika mengantarku ke ruang guru. 

Aku kaget. Ternyata bu Sari tak ada lagi di sekolah. Namun satpam itu tak mengetahui alamat bu Sari yang tepat. Aku bertekad untuk mencari alamat beliau. 
**

Aku berada di depan rumah sederhana. Tanpa pagar besi di sana. Sebagai gantinya pagarnya berupa pohon teh- tehan yang ditata setinggi dada. Kemudian di sisi kanan rumah ada tumbuhan melati yang sedang berkuncup. Meski sangat sederhana, namun tetap nyaman dan segar dipandang.

Rumah itu terlihat sepi. Entah di mana penghuninya. Aku sendiri masih ragu, apakah rumah itu tempat tinggal Bu Sari atau bukan. 

Tiba- tiba dari sisi kiri rumah muncul seorang lelaki yang kutaksir usianya sudah mendekati kepala empat.

"Emmm… mas, apa benar ini rumah Bu Sari?" tanyaku.

Lelaki itu terdiam sejenak. Lalu aku dipersilakan duduk di kursi teras rumah.

**
Pikiranku kosong. Tak kusangka orang yang kucari, bu Sari, sudah tiada. Sedangkan suaminya saat ini tinggal di rumah putrinya di Lampung. 

Aku ingat terakhir kali bu Sari memotivasiku untuk punya cita- cita yang tinggi. Aku bingung saat itu. Jangankan cita- cita, membaca saja tak bisa. Bu Sari tersenyum. Lalu beliau bercerita kalau beliau yang sudah tua saja memiliki cita- cita.

"Kalau bu guru ingin sampai ke Mekah. Itu cita- cita bu guru. Bu guru mulai menabung lho…"

Ternyata cita- cita itu belum tercapai, Allah lebih sayang padanya. Harapanku untuk menghajikan beliau dan melihatnya tersenyum di depan ka'bah hanya mimpi. 

Cerpen| Piala untuk Bunda

Piala Pertama untuk Bunda

Saat ini aku kelas satu SD. Namun aku belum lancar membaca. Ayahku sering memarahiku karenanya. 

Aku sendiri lebih dekat dengan simbah putriku. Ayah sibuk dengan pekerjaannya. Aku sebenarnya sangat rindu dengan ayahku yang dulu. Ketika aku masih balita, ayah yang mengajakku bermain, jalan- jalan keliling kampung. Sementara ibuku entah di mana.

Yang aku ingat, ibu jarang menemaniku bermain kala itu. Ibuku sibuk kerja, pikirku. Sampai saat ini aku kurang paham dengan hal itu. Yang aku tahu, ibuku mulai jarang pulang ke rumah dan akhirnya sama sekali tak melihat wajah ibuku.

Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan ibu. Sepanjang hari aku sering bersama simbah putri. Namun kadang aku merasa iri pada teman- temanku yang diantar ayah ibunya ketika berangkat dan pulang sekolah. Akan tetapi itu semua tak kuceritakan pada ayah dan simbah putri.

Kalau adik sepupuku sering jalan- jalan bersama ayah dan ibunya, aku merasa iri. Aku menangis dalam hati. Aku khawatir kalau simbah putri menjadi sedih. Kalau dengan ayahku, aku takut dimarahi dan dibilang cengeng.

"Anak laki- laki nggak boleh cengeng, nggak boleh manja…"

"Tapi ayah…"

"Kamu anak hebat, Ndra…"

**

"Ayah, bunda kok ada dua…"

"Nggak, Ndra…"

"Iya. Dua…"

Simbah putri menjelaskan kalau satu orang yang mirip bunda itu menjadi budheku. Bunda itu kembar, lahir di hari yang sama tapi beda beberapa menit. Ah...aku sedikit paham. Waktu itu aku diajak ayah, simbah putri dan keluarga ke rumah bunda. Aku senang sekali, sebentar lagi punya ibu baru yang kupanggil bunda. Bunda sangat cantik, suka bercanda denganku, mengajakku bermain, dan mengajakku belajar membaca. 

***
Aku bertekad akan menjadi kebanggaan bundaku. Bunda sudah resmi menjadi ibu baruku. Bertambahlah kebahagiaanku. Bunda semakin sering mengajariku belajar membaca dan menulis pastinya.

Semula aku takut dimarahi juga. Aku sadar, teman- temanku sudah lancar membaca semua. Aku masih mengeja perhuruf. Aku sering pusing dengan huruf- huruf itu.

Dengan senyum dan kesabaran bunda, aku bisa menaklukkan huruf itu. Membacaku lancar. Tulisanku lebih rapi. Oleh bu guruku, ketika kelas tiga, aku diikutkan dalam lomba mengarang di Hari Ibu. Aku hanya ikut memeriahkan saja. Tak ada impian untuk juara. Bundaku juga tak mengharuskan aku berprestasi. Bunda bilang, hal yang penting adalah aku menjadi anak sholih, pintar, sehat dan menjadi kebanggaan keluarga.

Pada acara pengumuman kejuaraan aku cukup bahagia ketika ada ayah dan bunda yang menemaniku, seperti peserta lain. Aku yakin kalau aku tak juara. Tak kusangka setelah kejuaraan ketiga dan kedua dibacakan, oleh panitia namaku disebut. Menjadi juara pertama!

Ah… aku jingkrak- jingkrak dan memeluk ayah bunda. Lalu segera aku menuju panggung dan menerima piala dan piagam penghargaan. Piala itu kupegang erat, dan begitu selesai penyerahan hadiah, aku berlari menuju kursi bunda.

Piala itu kuserahkan pada bunda.

"Bunda, terimakasih. Ini piala buat bunda…"

Cerpen| Pulung Gantung

Pulung Gantung

Semalam saya diberi kabar suami bahwa di kecamatan tempat tinggal kami ada kasus bunuh diri lagi. Caranya dengan gantung diri. Kalau dihitung- hitung sudah ada tiga orang yang gantung diri, dalam waktu setengah bulan ini.

Orang pertama, ibu- ibu setengah baya. Dia ditemukan gantung diri di sebuah pohon nangka tak jauh dari rumahnya. Dia sempat meninggalkan sepucuk surat untuk keluarganya.

Dari cerita- cerita yang beredar, dia ada masalah dengan anak dan mantunya, perkara motor yang dilarikan si mantu. Tak ada kasus perselingkuhan suaminya yang menjadikan ibu- ibu itu nekat gantung diri.

Sehari kemudian di kecamatan sebelah juga ada kasus serupa. Dan terakhir, kemarin seorang nenek ditemukan gantung diri di kamarnya. Aksi nekat itu dilakukan ketika anak cucu baru menonton atraksi jathilan.

Sang nenek menderita sakit yang cukup lama sehingga diperkirakan karena dia putus asa, sakitnya tak kunjung sembuh. Akhirnya sang nenek ambil jalan pintas, mengakhiri hidupnya.

"Itu karena ada pulung gantung pasti…" ujar teman saya yang masih percaya dengan hal- hal seperti tahayul.

"Ah… Saya kira bukan karena itu…" timpalku, menanggapi ujaran teman saya.

"Saya pernah melihat pulung gantung lho, bu…" cerita teman saya lagi.

Saya terkesima mendengar penuturan teman saya itu. Sedari kecil saya memang mendengar bahwa kalau ada pulung gantung, nanti akhirnya akan ada orang yang bunuh diri.

"Wujudnya api, bu. Di langit terlihat jelas…"

Saya jadi ingat lagi, kalau ingin menghalau pulung gantung maka para warga memukul kentongan. Kalau pulung gantung bisa terhalau maka tak akan ada korban bunuh diri.

Saya malah memperkirakan kalau api yang terbang di langit ketika malam hari, itu adalah benda langit yang akan jatuh dan menuju bumi. Kata ilmuwan meteor jatuh ke bumi. Di antara meteor-meteor itu ada yang terbakar habis di atmosfer.  Ada pula yang tidak terbakar habis dan mencapai permukaan bumi. 

Meteorit ---meteor yang sampai bumi--- itu jatuh dengan kecepatan tinggi dan bergesekan dengan atmosfir dan menimbulkan percikan api karena ada perubahan suhu.

"Mungkin itu benda langit, bu. Kita tak seharusnya percaya pada hal- hal tahayul seperti itu…"

"Tapi para warga tetap berpendapat seperti itu, bu…" sahut teman saya.

"Menjadi tugas kita sebagai orang yang bersekolah tinggi untuk memberikan keterangan yang benar…"

**

Malam hari selepas Shalat Isya. Saya bersama jamaah lainnya masih berkumpul di serambi masjid. Seperti biasa, setiap malam Jumat, ada pengajian. Ustadz Sueb, sesepuh kampung yang menjadi ilmu agamanya tinggi, siap menjawab semua pertanyaan para jamaah.

Di lingkungan warga kampung kami masih hangat membahas tentang pulung gantung dan bunuh diri di seputaran kecamatan mereka.

"Bagaimana pandangan pulung gantung dalam ajaran agama, pak Ustadz ?"

Ustadz Sueb memahami tentang pro kontra tentang pulung gantung.

"Orang yang nekat mengakhiri hidup, entah dengan cara apapun tidak diperbolehkan. Kalau ada yang mengaitkan dengan pulung gantung juga tidak pas…"

Para jamaah menyimak penjelasan Ustadz Sueb. 

"Orang nekat menyakiti diri hingga mengakibatkan kematian adalah perbuatan dosa besar. Bahkan kalau ada yang melakukannya maka jenazahnya tidak perlu disucikan atau dimandikan…"

Suasana masjid tua di kampung menjadi hening.

"Bisa jadi orang yang bunuh diri itu stress atau bahkan depresi. Banyak masalah atau penderitaan lainnya yang membuat putus asa. Coba ibu dan bapak perhatikan dari berita- berita, kebanyakan mereka yang bunuh diri itu karena sakit- sakitan, masalah ekonomi dan kejiwaannya sakit. Bermasalah dengan keluarga entah suami, istri, anak atau anggota keluarga lainnya…"

"Iya, Ustadz. Ibu- ibu di desa X melakukannya karena sering berselisih paham dengan mantunya. Bukan karena suami…" ujar bu Mangun.

"Yang kemarin, nenek sakit- sakitan dan putus asa…" sahut bu Iqom.

"Nah...itulah. Makanya kita perlu meningkatkan ibadah dan berhubungan baik dengan siapapun. Berbuat baik pada suami, istri, anak, tetangga, teman. Biar bisa berkomunikasi dengan baik. Kira- kira kalau kita melaksanakan itu semua, bagaimana hidup kita?"

Ustadz Sueb menyapukan pandangan ke arah para jamaah. Jamaah menjadi riuh. Saling berdiskusi dengan jamaah di sampingnya.

"Hidup menjadi nyaman, damai dan tenang, ustadz…"

"Iya. Nggak akan stress. Nggak depresi…"

"Nggak akan nekat bunuh.."

Ustadz Sueb tersenyum.

"Alhamdulillah. Bapak dan ibu sudah paham. Mari kita mulai menjaga komunikasi yang baik pada Sang Pencipta dan sesama. Berikan perhatian pada keluarga, apalagi kalau ada orangtua yang sakit- sakitan. Berikan kasih sayang padanya sehingga dia terhibur. Syetan pun akan mabur dari hatinya…"

***
Catatan: Pulung gantung adalah mitos yang berkembang di Gunungkidul. Pulung gantung berupa bola api yang menurut mitos akan menelan korban. Dari warga berkembang bahwa pulung gantung mengincar para warga yang imannya lemah dan menghadapi masalah pelik.

Friday, January 04, 2019

Cerpen: Tak Pantas Untukmu

Tak Pantas Untukmu
Debur ombak memecah karang
Menghenyakkan pikirku
Akan dia
Ya dia yang sering mengisi ruang hati
Ruang rinduku

Rindu ini terlarang
Bukan hanya untukku
Tapi juga untuknya

Puisi sederhana ini ku pahatkan
Di pasir putih
Tepi pantai
Pernah ku tuliskan
Lalu menghilang
Bersama ombak yang menepi
Ku berharap
Rindu terlarang ini
Musnah juga bersama surutnya ombak


Aku masih terus memikirkan Jun. Dia yang memang selalu mengisi hari-hariku. Tapi perasaan itu harus ku halau jauh- jauh.

Aku tak mau jadi duri dalam rumah tangganya. Aku wanita. Aku pernah merasakan sakit hati juga ketika kekasihku meninggalkanku demi wanita lain.

"Dik, Daya. Kok chat-ku tak pernah kamu balas beberapa hari ini...", Chat Jun masuk ke nomor kontak WA-ku.

Ah... Aku terlanjur membuka pesan itu. Jemariku ingin mengetikkan sesuatu tapi aku kehilangan kata-kata.

Terbayang Jun yang ramah dan mempesona. Tapi aku wanita yang punya hati. Bagaimana pun rasa cinta dan terpesona akan sosok Jun tak boleh ku lanjutkan.

Biar hanya aku dan Allah yang tahu. Seperti kekaguman Zulaikha kepada Yusuf, pemuda tampan yang diabadikan dalam kitab suci. Tapi aku tak berharap cintaku berakhir seperti kisah Zulaikha dan Yusuf.

"Dik Daya. Kok cuma diread?", Chat-nya lagi.

Ku ingat kata-kata romantis yang sering dikirimkannya untukku. Jujur aku pun terbuai dan menikmati setiap rangkaian kata yang aku terima. Aku pikir, bila denganku saja romantis maka dengan isterinya pasti lebih romantis. Aku tahu dia tipe laki-laki yang begitu menghormati separuh jiwanya. Mungkin hanya kekhilafan yang sekarang dia perbuat.

Aku tak mau membuka peluang syaitan untuk menjerumuskan dia dan aku. Ayah dan ibuku akan terpukul bila aku lakukan hal bodoh. Aku lebih menginginkan kebahagiaan mereka. Mereka ridho akan hidupku maka Allah juga ridho padaku.

Ku tatap layar ponselku. Ku hela nafas panjang. Ku pejamkan mata sesaat. Ya...keputusanku sudah final.

"Maaf, mas Jun. Aku tak pantas untukmu...", Balasku pada chat-nya.

Segera ku non aktifkan HPku. Aku ingin menikmati hari bersama debur ombak yang membuih ketika beradu dengan karang dan menyentuh tepi pantai.
Wahai, kekasih…
Cinta itu anugerah
Tapi tak untuk kita
Jikalau Zulaikha pernah khilaf
Karena jutaan pesona Yusuf
Ku anggap aku adalah Zulaikha itu
Jikalau mereka berakhir bahagia
Aku tak berharap seperti itu
Karena dia lebih pantas membersamaimu
Aku…?
Aku tak pantas untukmu




--


#JunanisDayatishaq #jora5074 Cerita Ringan