Friday, January 25, 2019

Kisah Menangani Siswa ABK di Kelas

Tiga belas tahun lebih mengajar di sebuah sekolah dasar swasta tentu banyak hal yang ku hadapi. Sekolah kami berada di tiga kilometer dari ibukota kecamatan.
Berbagai pengalaman, baik suka maupun duka menjadikan cambuk untukku lebih baik dan maju dalam melayani siswa dan wali siswa.
Jumlah siswa di sekolah kami tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit. Siswa kami berasal dari beberapa dusun di sekitar sekolah serta beberapa daerah di Jawa Tengah. Mengapa siswa bisa berasal dari luar DIY? Ya mereka sebenarnya santri pondok yang letaknya tak begitu jauh dari sekolah.
Siswa dengan berbagai tabiat dan karakter hingga membuat guru-guru kewalahan. Pendidikan keluarga mempengaruhi karakter siswa ketika berinteraksi di sekolah. Mulai dari siswa yang berasal dari keluarga broken home, siswa pindahan yang agak nakal dan masih banyak lagi.
Tantangan semakin besar ketika guru berhadapan dengan siswa berkebutuhan khusus atau siswa difabel. Aku sendiri masih awam dalam hal menghadapi siswa berkebutuhan khusus atau difabel tersebut. 
Dahulunya siswa berkebutuhan khusus biasa disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Tetapi dalam perkembangan akhir-akhir ini, semua sekolah harus dan dituntut mau menerima anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama teman-temannya. Istilahnya semua sekolah harus bisa memberikan pendidikan asesmen kepada anak berkebutuhan khusus (ABK).
Berkaitan dengan program pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus (ABK) atau difabel, alhamdulillah sekolah kami sudah memiliki gedung yang menunjang, hasil rehab dari DAK tahun 2014-an.
Kebetulan beberapa tahun aku mengajar yang kelasnya terdapat siswa ABK. Sebut saja siswa ABK itu Pur.
Sebagai orang yang buta pendidikan ketunaan, aku sering bertanya pada saudara yang mengajar di SLB. Tak jarang juga berkomunikasi dengan teman sejawat ketika jam istirahat di kantor.
Teman sejawat yang juga menghadapi siswa ABK sebut saja Bu Har. Kami saling sharing agar perangkat pembelajaran lengkap dan proses pembelajaran asesmen bisa lancar.
Menjadi teman belajar bagi siswa berkebutuhan khusus atau difabel tentu banyak tantangannya. Apalagi ini merupakan hal baru untukku.
Pertama kali memberikan pendidikan asesmen, rasanya luar biasa capek. Hal ini karena guru sebagai teman belajar harus menyiapkan dua materi dalam satu mata pelajaran. Satu materi untuk siswa reguler, satu lagi untuk siswa difabel, Pur.
Materi pelajaran untuk siswa difabel selalu disesuaikan dengan kemampuannya. Ini berlaku untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan. Sebenarnya akan lebih baik apabila seluruh mata pelajaran materinya dibedakan. 
Bisa dibayangkan betapa repotnya menyiapkan materi dan tentunya semua perangkat pembelajaran yang menunjang kegiatan pembelajaran. Terkadang saking repotnya menyiapkan berbagai perangkat, aku lupa memberikan materi pelajaran untuk siswa difabel.
Saat itu aku masih awam tentang bagaimana membuat perencanaan pembelajaran serta materinya. Akibatnya mau tak mau secara dadakan ku berikan materi pelajaran yang sama dengan materi sebelumnya untuk Pur.
Sudah memberikan materi yang sama pun, aku harus siap dan sabar apabila ternyata si Pur tadi lupa cara mengerjakan atau lupa penjelasannya. Lelah, geli, gemas sering ku alami ketika menghadapi kenyataan tersebut.
Pikiran pun bercabang karena memikirkan bagaimana untuk menyampaikan materi untuk siswa reguler yang selalu dikejar target selesai sesuai kurikulum serta mengasesmen siswa berkebutuhan khusus (ABK) atau difabel.
Dalam awal proses pembelajaran dengan program asesmen, komunikasi dengan para siswa reguler saya kemukakan terlebih dahulu. Saya jelaskan dan minta pengertian dari para siswa ketika melihat materi pelajaran siswa yang berkebutuhan khusus atau difabel lebih mudah dibandingkan mereka. Jangan sampai iri, intinya begitu. Alhamdulillah mereka memaklumi Pur. Mereka sudah mengetahui bahwa Pur berbeda dengan mereka. Apalagi mereka juga melihat bahwa di Kelas VI pun ada siswa yang diasesmen.
Siswa kelas VI yang diasesmen sebut saja dengan nama Budi. Ketika para siswa kelas VI mengikuti UN, Budi tidak termasuk peserta UN. Budi dibuatkan soal sesuai kemampuannya.
Letak perbedaan antara siswa kelas VI yang ikut UN dan yang asesmen, adalah kalau siswa peserta UN setelah lulus mendapat Ijazah dan Surat Tamat Belajar.
Sedangkan siswa asesmen hanya mendapat Surat Tanda Telah Menempuh Pelajaran SD tetapi siswa yang bersangkutan tetap bisa melanjutkan sekolah di SMP yang memiliki program asesmen.
Kembali ke pengalaman belajar mengajar di kelasku. Ketika pelajaran, si Pur yang merupakan penyandang tuna grahita, lupa materi yang ku sampaikan, aku selalu membandingkan dengan siswa reguler yang juga lupa akan penjelasan, bahkan malah ramai.
Memang mengajar dan mendidik haruslah memanusiakan anak didik. Cara mentransfer pengetahuan pun disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.
Tidak semua siswa mampu belajar matematika, pun tidak semua suka pelajaran IPA Sains. Pastilah ABK diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kalau kita sering menyaksikan tayangan di televisi bahwa anak difabel memiliki kelebihan di bidang tarik suara, hafiz, membuat desain gaun dan sebagainya, maka saya melihat Pur yang berkebutuhan khusus atau difabel juga memiliki kelebihan, terutama dalam bidang agama. Pengetahuan keagamaan lebih banyak dibandingkan pengetahuan umum. 
Yang mencengangkan ketika pelajaran non-UN nilai Pur malah kadang lebih tinggi dibandingkan temannya. Bagiku itu termasuk kejadian luar biasa.
Saat ini Pur sudah kelas VII di SLB di desaku. Semoga dia bisa lebih diarahkan oleh guru di sana.
--
Repost dari Sini

No comments:

Post a Comment