Relawan yang Memotivasi
Bencana demi bencana… ah… musibah demi musibah mendera bumi pertiwi ini. Duka masih menyelimuti daerah bencana itu. Korban selamat masih dirundung duka luar biasa. Dalam sekejap kehilangan orang yang dicintai dan dikasihi. Tak hanya seorang. Ada yang dua orang, tiga orang atau bahkan semua anggota keluarga yang menjadikan sang korban sebatang kara di dunia ini.
Itu yang dialami Hera. Orangtua dan saudara meninggalkannya selamanya. Gadis cantik mungil itu tergugu melihat keluarganya dimandikan, dishalatkan dan diistirahatkan di pemakaman kampung dalam waktu tak berselang lama. Dengan duka mendalam dia belajar mengikhlaskan semua.
Selepas penguburan keluarga, Hera menyusuri desanya yang porak poranda diterjang tsunami. Dilihatnya berbagai perabot rumah tangga, kayu, dan beragam sampah terlihat di berbagai sudut desanya. Keindahan desa dengan beragam spot foto, rumah belajar, rumah budaya hanya tinggal puing-puing.
Tak ada tangis dan air mata lagi. Seolah sudah tak ada air mata yang bisa diteteskan. Dilihat sekelilingnya dengan perasaan hancur. Apalagi ketika menyadari ada seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) yang bernasib sama dengannya, sebatang kara. Rindu nama anak itu. Dia bertemu dengannya tanpa sengaja ketika mencari ibu yang belum kunjung ditemukan. Saat itu Rindu menangis, tak tahu mau bagaimana melanjutkan hidupnya.
Akhirnya diajaknya Rindu ke tempat pengungsian. Hidup jelas tak nyaman di sana. Sarana prasarana terbatas. Tetapi syukurlah bantuan demi bantuan berdatangan. Saat melihat seperti ini Hera sangat terharu dengan jiwa solidaritas saudara sebangsa setanah air ini. Begitu juga ketika melihat sukarelawan dengan ikhlas membantu evakuasi korban, pemeriksaan kesehatan dan pemulihan psikologi para korban, terutama untuk anak berkebutuhan khusus seperti Rindu. Tak peduli apakah relawan itu dari LSM, partai politik atau organisasi sosial atau bahkan organisasi berbasis agama. Korban hanya melihat keikhlasan di wajah mereka.
---
Dua minggu sejak musibah tsunami, kondisi dan pemulihan desa belum berhasil sepenuhnya. Untuk membangkitkan lagi desa agar bersih, nyaman dan aman butuh waktu yang tak sedikit. Para korban sadar dan yakin bahwa saudara dari Sabang sampai Merauke selalu membantu dan mendoakan mereka.
“Kak, Rindu ingin ke halaman kelurahan. Mau ikut main bersama teman dan sukarelawan di sana…”, Rindu mengatakan keinginannya itu.
“Kalau Rindu ingin ke sana boleh kok. Bareng teman- temanmu dulu ya. Nanti kak Hera nggak jemput kamu. Kak Hera di sini mau nyuciin bajumu dan membantu ibu-ibu di sini dulu”.
Rindu mengangguk dan berlarian menuju kantor kelurahan bersama temannya. Ya meski kadang anak itu tak disukai teman sebayanya karena fisiknya yang berbeda. Setiap habis Asar anak-anak diajak bermain oleh para sukarelawan. Ya biar anak-anak tidak stress dan trauma dengan musibah yang menimpa tempat tinggalnya.
---
Menjelang Maghrib Hera menjemput ke kelurahan. Ketika dilihatnya gadis kecil itu Hera tersenyum. Dianggapnya Rindu sebagai adik yang akan selalu menemaninya untuk melanjutkan hidup meski fisiknya tak sempurna.
Dua minggu adalah waktu yang cukup lama yang bisa mendekatkan Hera dengan Rindu. Saling cerita, mengenang keluarga, saling menguatkan satu sama lain.
“Kak Hera dapat salam dari mas Arsyil lho…”, cerita Rindu. Hera mencoba mengingat-ingat siapa orang yang dimaksud.
“Itu lho kak. Yang dulu bantu tim periksa kesehatan untuk kita…”
Hera menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat orang itu dan tak mau memikirkannya. Yang dipikirkan bagaimana bisa hidup dan menghidupi Rindu.
“Ah… kakak payah”, komentar Rindu dengan polos.
---
Rindu menarik-narik tangan Hera.
“Apaan sih, dek. Kak Hera masih mau bantu ibu-ibu masak buat makan nanti malam…”
“Alaaah.. Kakak nih. Sesekali nemeni aku.”
Rindu terus memaksa Hera. “Teman-temanku sering ditemani orangtua atau kakaknya. Masak aku sendirian terus. Apa kakak malu?”
Hera terhenyak dengan pertanyaan Rindu baru saja. Ternyata anak itu punya pikiran seperti itu, padahal Hera sama sekali tak malu. Dia punya malaikat yang menemaninya sampai saat ini.
“Sudah Hera. Kamu turuti keinginan Rindu. Kasihan kan…”,ujar seorang ibu mengingatkan Hera.
Hera mengangguk dan menggandeng erat tangan Rindu. Gandengan tangan yang menyatakan Hera tidak pernah malu dan akan terus menjaga gadis kecil yatim piatu itu.
---
Di halaman kantor kelurahan ternyata ramai. Pemuda pemudi, anak-anak berbaur jadi satu. Bermain bersama. Tampak meriah dan memang Hera rasakan bisa menghilangkan sedikit trauma akibat musibah kemarin.
Di salah satu sudut tampak sekumpulan remaja bergerombol. Entah apa yang dilihat dan mereka bicarakan. Hera tersenyum dalam hati. Dia merasa jadi orang yang kuper.
“Aah… mas Arsyil di mana sih?”, tiba-tiba Rindu menggerutu.
“Siapa, dek?”,tanya Hera.
Rindu tak menjawab pertanyaan Hera, tapi matanya terus berputar mencari sesuatu.
“Kamu nyari apa sih, dek?”
Saat ini Rindu ingin bertemu mas Arsyil, salah satu sukarelawan, yang menjanjikan boneka Masha. Dulu Rindu pernah punya tapi sejak musibah itu bonekanya hilang.
Di kejauhan Hera melihat seorang sukarelawan melambaikan tangan ke arah Rindu. Hera mencolek lengan Rindu dan menunjuk ke arah suk sukarelawan itu. Rindu terlihat girang dan berlari ke arah orang itu. Diperhatikannya Rindu sangat bahagia.
Rindu kembali ke tempat Hera menunggunya.
“Kakak… lihat ini… !”,Rindu berteriak senang.
“Iya. Bonekanya cantik ya…”
“Cantik kayak aku dong, kak”,celetuk Rindu.
“Iya. Tapi lebih cantik kamu kok, dek..”
---
Sore hari berikutnya, Rindu mengajak Hera kembali ke kelurahan lagi. Rengekan yang memaksa Hera mengikuti kemauannya. Hera juga khawatir kalau Rindu berpikir bahwa dirinya malu dengan kondisi Rindu.
Seperti sore kemarin Rindu celingukan mencari sukarelawan itu. Ditentengnya boneka Masha.
“Kamu main sama teman-teman dulu, dek…”, Hera menasehatinya. Dia tetap tak mau bergabung dengan teman-temannya. Dia hanya memainkan boneka kesayangannya. Hera memandangi gadis kecil itu.
Tiba- tiba dari kelurahan ada suara dari sound yang intinya tim sukarelawan akan berganti petugas. Rindu tak memahami pengumuman itu.
“Dek, besok orang yang membantu di sini diganti. Orangnya beda…”,begitu terang Hera.
Dari arah belakang Hera dan Rindu terdengar suara laki-laki yang kemarin memberikan boneka untuk Rindu.
“Iya, dek. Besok aku pulang dulu. Ganti teman kakak yang menemani kalian…”
“Jadi aku tidak bisa ketemu mas Arsyil lagi?”,tanya Rindu. Arsyil tersenyum dan mengangguk. Tiba-tiba Rindu melempar boneka pemberian Arsyil.
“Mas Arsyil jahat…!!”, teriak Rindu.
Hera mencoba menenangkan Rindu. Rindu sesenggukan.
“Dek, mas Arsyil itu pulang karena di rumah sudah ditunggu adiknya. Kasihan adiknya kan, lama ditinggal kakaknya. Ya seperti kamu, kalau kak Hera nggak ada kan kamu nyari terus…”
Rindu masih menangis. Hera memeluk gadis berkebutuhan khusus itu.
“Sekarang Rindu ambil lagi bonekanya ya. Kasihan mas Arsyil. Sudah ngasih boneka...eh… malah kamu lempar…”
Rindu belum juga mengambil boneka Mashanya. “Rindu kalau kita dikasih sesuatu sama orang lain maka kita harus menghargainya. Mereka sayang sama kita. Mas Arsyil juga sayang kamu. Coba… sekarang kamu ambil boneka itu ya…”
Hera menuntun Rindu ke tempat boneka itu dilempar. Diambilkannya boneka itu untuk Rindu.
“Rindu. Ini bonekanya. Kamu jaga ya. Jangan dibuang lagi…”
Rindu mengangguk.
“Sekarang kak Hera antar kamu ke sana ya…”,ucap Hera sambil menunjuk arah para sukarelawan berkumpul.
“Kamu minta maaf sama mas Arsyil ya…”
Digandengnya Rindu menemui Arsyil. Dengan senyum tersungging di wajahnya Arsyil menyambut Rindu. Rindu langsung berlari dan memeluk Arsyil.
“Mas Arsyil, Rindu minta maaf ya. Rindu jahat sama mas Arsyil”, ucap Rindu.
“Iya, dek. InsyaAllah mas Arsyil ke sini lagi. Kamu jaga kesehatan, makan teratur ya…”
Ah… Rindu yang yatim piatu selalu merindukan orang yang disukainya. Tak mau ditinggalkan. Seakan duka kembali menyelimuti hatinya.
Segera Hera mengajak Rindu pulang. Hari sudah mulai petang. Ada kesunyian di hati Rindu.
“Aku pulang dulu, mas Arsyil. Besok kalau pulang hati-hati ya…”, Rindu menyalami Arsyil dan berpamitan.
No comments:
Post a Comment