Thursday, January 31, 2019

Cerpen | Buket untuk Bidadariku



Aku duduk sendiri di tengah keramaian lalu lalang keluarga wisudawan wisudawati di GOR kampus Husna. Tak kubayangkan dia di dalam ruang wisuda hanya sendirian. Kedua orangtuanya sudah tiada. Ibunya sudah meninggal ketika dia masih kecil. Ayahnya menyusul setelah beberapa tahun menikahkan Husna denganku.

Hidup di masa milenium ini rasanya memang cukup aneh jika ada pernikahan yang tanpa dilandasi rasa cinta. Pernikahan kami pun seperti itu. Kami menikah tanpa saling mengenal satu sama lain. Pernikahan yang dikehendaki oleh orangtuaku karena mereka ingin menolong Husna.

Aku menerima usulan itu meski hatiku menolak. Setelah menikah pun kami tidur di ruang berbeda. Aku mengacuhkan Husna. Bahkan aku sering mengajak perempuan lain, Nita yang sejak kuliah menjadi kekasihku, ke rumah. Aku memperlakukan Husna layaknya pembantu. Aku lebih memilih bersenang- senang dengan Nita. Tak kupedulikan Husna. Bermesraan dengan Nita pun sering di depan matanya.

Anehnya Husna masih mau menyiapkan segala hal yang kubutuhkan. Memasak, mencuci, menyetrika. Cuma saja dia sering dengan sengaja menumpahkan air di gelas yang disiapkannya untukku dan Nita. Kadang aku yang kena siraman air panas. Tapi lebih sering Nitalah yang mengalaminya.

Nita marah bukan kepalang. Dari bibirnya sering mengeluarkan kata- kata yang menusuk perasaan Husna. Aku tahu itu. Tapi karena rasa cinta yang terlampau besar untuk Nita, itu semua tak kupedulikan.

Akan tetapi jiwa berontak Husna menjadi tinggi. Mungkin itu adalah titik nadir kesabaran Husna. Ya..waktu itu aku dan Nita berdua di kamar. Biasanya kami melakukannya di ruang tengah atau ruang tamu. Kamar kami kunci. Tapi Husna menggedor- gedor kamar. Sangat berisik. Aku segera menuju pintu dan membuka pelan. Tak kusangka Nita langsung menyerang Husna dengan kata-kata kasar seperti biasa.

“Dasar perempuan kampungan. Ngapain kamu ganggu kami hah…?!”

Husna diam. Tak dijawabnya pertanyaan Nita.

“Aku hanya ingin bicara dengan suamiku, mbak…”, kata Husna dengan mata memandang ke arahku.

Secepat kilat Nita menarik tubuh Husna dan menjambak rambutnya. Ditariknya ke arah meja. Entah kapan aku meletakkan gunting di sana. Gunting itu diambil Nita. Aku terkejut dan segera melerainya, khawatir kalau terjadi hal buruk di rumah. Tapi tangan Nita dengan cepat mengarahkan gunting ke rambut panjang Husna. Dalam sekejap rambut Husna terjatuh di lantai.

Husna tersungkur, meraih potongan rambutnya. Di sudut matanya keluar bulir air mata. Dikumpulkannya rambut- rambut yang bertebaran di lantai.

Husna mendekatiku.

“ Aku tak akan membiarkan ada perempuan murahan di sini. Kamu boleh menikahinya. Tapi aku tak ingin hidup di sini. Kamu ceraikan aku dan nikahi dia..”, suara Husna terdengar bergetar.

Aku tahu Husna menahan air matanya. Dia menundukkan kepalanya.

“Sekali lagi, mas. Aku tak bisa mempertahankan rumah tangga ini. Tapi jangan buat dirimu menjadi laki- laki hina. Tunggu sampai kita resmi bercerai. Baru kalian menikah.Itu saja…”

Husna berlalu dari kamarku. Dengan sedikit berlari dia keluar. Sementara Nita masih diliputi rasa marah. Aku tak bisa berpikir rasional lagi. Yang seharusnya marah itu aku, Nita atau malah Husna. Aku begitu kalut. Akhirnya Nitapun pulang.

***
Semenjak peristiwa itu tak kulihat lagi Husna di rumah ketika aku pulang dari kantor. Tak ada sarapan, pakaian kotor menumpuk, piring dan gelas bersih pun sudah habis. Rumah benar-benar menjadi kapal pecah. Tiba- tiba aku merasa ada yang hilang di rumah meski setiap hari ada Nita yang sering menyempatkan ke rumah.

Sampai saat ini, sudah dua bulan lebih aku melakukan aktivitas rumah sendirian. Saat ini pula Husna wisuda. Aku tak tahu persis di mana dia kuliah, kapan ujian skripsi, bagaimana bayar kuliahnya.

Aku bisa tahu kampusnya setelah aku menemukan satu makalahnya di gudang yang telah disulap Husna menjadi kamar pribadinya. Ya selama kami menikah empat tahun dia tidur dan beraktivitas di ruang itu.

Kugelengkan kepala dengan kuat ketika mengingat perlakuanku. Aku adalah suami yang tidak baik. Aku membiarkan istriku berjalan dan menghadapi permasalahannya sendirian. Sementara aku bersenang-senang dengan perempuan lain.

Ayah ibuku protes keras dengan keputusan kami untuk berpisah. Yang disalahkan bukan Husna tetapi aku. Aku yang tak mensyukuri segala yang kumiliki.

Ibu mengingatkan aku bahwa aku dulu sempat kehilangan penglihatanku karena kecelakaan. Keluarga kami kacau. Apalagi kondisi ekonomi keluarga tak sebagus saat ini. Di saat kami terpuruk hadirlah keluarga yang menjadi malaikat penolong kami. Ketika aku putus asa keluarga mereka dengan ikhlas membantu mendonasikan mata almarhum ibunya yang saat itu sakit keras. Dengan harapan mata sang ibu bisa menjadi ladang pahala baginya.

Ibu yang menjadi penolong keluarga kami adalah keluarga Husna. Aku shock mendengar penuturan ibuku. Keluarga Husna tak mengharap imbalan apapun dari kami. Pantas saja Husna juga memperlakukanku bagai orang agung. Tak peduli dengan perlakuan tak manusiawi dariku.

Kutarik napas dalam-dalam. Aku masih menunggu Husna di sini sampai akhirnya para wisudawan wisudawati keluar dari GOR kampus bersama keluarganya. Kusapukan pandangan ke sekeliling GOR. Kuraih buket bunga warna merah yang kubeli secara mendadak di depan parkiran kampus. Buket bunga yang akan kuberikan kepada perempuan lugu, istriku, Husna.

Di pintu keluar kulihat Husna keluar dari GOR bersama paklik dan bulik Prio. Kuhampiri dan kusalami paklik dan bulik Prio.

“Lho, kamu datang juga, le. Sudah pulang? Katanya gendhuk Husna kamu ada acara di luar negeri…”, komentar bulik Prio.

Aku hanya mengangguk. Oh...ternyata Husna membuat alasan seperti itu.

Kulihat Husna sedang berkumpul dengan para wisudawan wisudawati dan berfoto bersama mereka. Kuhampiri dia yang sekarang terlihat lebih kurus tapi tetap anggun seperti dulu.

“Boleh aku foto denganmu, Husna?”, aku menyapanya. Dia agak kaget melihat kehadiranku. Seperti terakhir kali kulihat dirinya dia hanya menundukkan kepalanya. Kuserahkan buket bunga kepadanya.

Dengan ragu dia menerima buket itu. “Selamat ya, sayang…”. Dia kaget mendengar ucapanku.

Di saat bersamaan teman-temannya menghampiri kami. Mereka penasaran dengan keberadaanku. Husna mengelak ketika mereka mempertanyakan hubungan kami. Mereka sedari tadi memperhatikan pembicaraan kami.

“Dia siapa, Hus…?”, tanya temannya menggodanya.

“Cieh...ciehhh…”

“Iya siapa sih? Pakai sayang segala…”

Husna tidak menanggapi komentar teman-temannya.

“Karena Husna tidak menjawab pertanyaan kalian. Aku saja yang jawab. Husna ini istriku…”.

Tak kupedulikan tanda tanya di hati teman Husna. Aku hanya menyakinkan pada Husna kalau aku ingin bersamanya sampai akhir hayatku.
---
Cerita yang sama kuposting di Sini

No comments:

Post a Comment