Bismillah...
*MENJADI MUKMIN SEJATI*
Secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin iman adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. (Syarah Al Arba'in hal 34)
Adapun secara istilah yang ma'ruf dijelaskan oleh para Ulama,
الإيمان هو تصديق بالقلب و إقرار باللسان و عمل بالأركان
“iman itu membenarkan dengan hati mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”.
Pembenaran hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasululloh shallallohu ‘alahi wasallam.
Pengakuan dengan lisan artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an laa ilaaha illalloh wa asyhadu anna Muhammadan rasululloh.
Sedangkan beramal dengan anggota badan artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Imam Asy Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.”
Imam Ahmad berkata,
“Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.”
(Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102)
Banyak amalan yang dapat mengantarkan seseorang menuju kesempurnaan iman.
Suatu ketika Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Lalu beliau bertanya kepada mereka,
"Siapakah diantara kalian yang mau menerima dariku kalimat-kalimat ini, lalu mengamalkannya, atau mengajarkannya pada orang lain sehingga bisa mengamalkannya?
Tidak ada seorang pun yang menyahut, kecuali Abu Hurairah yang berani mengatakan,
"Saya siap wahai Rasululloh."
Maka Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam memegang tangan Abu Hurairah dan bersabda,
إتق المحارم تكن أعبد الناس وارض بما قسم الله لك تكن أغنى الناس وأحسن إلى جارك تكن مؤمنا وأحب للناس ما تحب لنفسك تكن مسلما ولا تكثر الضحك فإن كثرة الضحك تميت القلب
1. Jauhilah apa saja yang diharamkan (dalam Islam), niscaya engkau menjadi manusia yang paling ahli ibadah.
2. Ridholah dengan apa yang Alloh berikan kepadamu, niscaya engkau menjadi manusia yang paling kaya.
3. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi mukmin sejati.
4. Cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri, niscaya engkau menjadi muslim.
5. Jangan tertawa berlebihan, sebab hal itu dapat mematikan hati. (HR. Tirmidzi).
Dari hadits diatas banyak sekali faidah yang bisa kita dapatkan. Sebelum menyampaikan wasiat-wasiat, Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam terlebih dahulu menawarkan pada sahabat, agar kalimat-kalimat yang akan beliau sampaikan diamalkan dan didakwahkan. Maka, dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa hakikat ilmu adalah untuk diamalkan dan didakwahkan. Ilmu bukan sekedar untuk dihafal dan menjadi konsumsi otak saja.
Dalam sebuah ungkapan disebutkan,
العلم بلا عمل كالشجرة بلا ثمر
Ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tidak berbuah.
Kemudian Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam memegang tangan Abu Hurairah sebelum menyampaikan wasiat. Ini adalah diantara metode pengajaran Nabi, yaitu memastikan objek yang hendak diberikan nasehat benar-benar siap untuk memperhatikan.
Setelah Abu Hurairah benar-benar siap mendengarkan nasehat, maka Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam menyampaikan lima perkara yang menjadi bekal menjadi seorang mukmin.
*1. Jauhilah Apa Saja Yang Diharamkan (Dalam Islam), Niscaya Engkau Menjadi Manusia Paling Ahli Ibadah*
Manusia diciptakan dengan tujuan utama beribadah kepada Alloh.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
[Surat Adz-Dzariyat 56]
Yang perlu dipahami adalah bahwa ibadah itu ada yang berupa perintah untuk dikerjakan, dan ada yang berupa larangan untuk ditinggalkan.
Maka, ahli ibadah yang sejati adalah orang yang banyak melaksanakan perintah-perintah Alloh, dan bersamaan dengan itu menjauhi segala hal yang diharamkan Alloh.
Alloh berfirman,
وَمَاۤ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُوا۟ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.
[Surat Al-Hasyr 7]
Dari Abu Hurairah radhiyallohu 'anhu, beliau mendengar Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa-apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa-apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para Nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
*2. Ridholah Dengan Apa Yang Alloh Berikan, Niscaya Engkau Menjadi Manusia Paling Kaya*
Setiap orang tentunya menginginkan dalam hidupnya selalu tercukupi dalam urusan harta benda.
Tidak bisa dipungkiri bahwa harta benda sangat berarti. Namun tak selamanya yang berarti itu selalu identik dengan materi.
Dalam islam kekayaan itu tidak semata diukur dengan banyaknya materi dan harta benda. Namun, kekayaan yang sejati adalah kekayaan hati.
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
ﻟﻴﺲ اﻟﻐﻨﻰ ﻋﻦ ﻛﺜﺮﺓ اﻟﻌﺮﺽ، ﻭﻟﻜﻦ اﻟﻐﻨﻰ ﻏﻨﻰ اﻟﻨﻔﺲ
“Kekayaan itu bukanlah dari bergelimangnya harta, namun kekayaan adalah kaya akan diri (dengan tak berharap dari pemberian orang lain).” (HR: Muslim)
Ibnu Baththal berkata, “Hadits ini bermakna bahwa kekayaan yang hakiki bukanlah pada harta yang banyak. Karena banyak orang yang Alloh lapangkan harta padanya, namun ia masih merasa tidak cukup. Sehingga ia terus bekerja untuk menambah hartanya sampai tidak mempedulikan darimana harta itu didapatkan. Maka, sesungguhnya ia orang miskin, disebabkan karena ambisinya yang sangat besar.”
Adapun orang kaya adalah orang yang mampu mengarahkan dirinya pada perkara yang positif. Baginya harta benda bukanlah ambisi utama. Ia merasa cukup dengan apa yang dimiliki, dan tidak tergiur dengan milik orang lain.
Ketika seseorang mampu mengarahkan dirinya untuk merasa cukup dengan apa yang ada, sehingga tidak berharap dengan pemberian orang lain saat itulah ia termasuk orang ridho dengan ketentuan Alloh sehingga tercatat sebagai orang kaya di hadapan Alloh.
*3. Berbuat Baiklah Terhadap Tetanggamu, Niscaya Engkau Menjadi Mukmin Sejati*
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal dekat dengan rumah kita. Secara adat kebiasaan disebut sebagai tetangga, maka itulah yang dinamakan tetangga.
Dalam islam tetangga memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rasululloh shalallohu 'alaihi wasallam memerintahkan orang beriman untuk berbuat baik terhadap tetangganya.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Barangsiapa beriman pada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.. (HR. Bukhori - Muslim).
Orang yang tingkah lakunya membuat tetangganya terganggu, tidak sempurna imannya.
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟. قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
"Demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman.”
Ada yang bertanya, “Siapa itu, Ya Rasulalloh?.”
Jawab Nabi, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR Bukhari).
Imam Al-Ghazali dalam Ikhtisar Ihya Ulumiddin mengatakan sesungguhnya tetangga memiliki hak yang sama dengan hak kaum Muslimin secara keseluruhan. Namun, hak mereka bertambah sebab menjadi tetangga.
Keimanan itu berbanding lurus dengan akhlak.
Semakin baik keimanan seseorang, maka akan semakin baik pula akhlaknya.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162)
*4. Cintailah Orang Lain Seperti Engkau Mencintai Dirimu Sendiri, Niscaya Engkau Menjadi Muslim.*
Seorang yang beriman dengan orang yang beriman lainnya adalah saudara.
Alloh berfirman,
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةࣱ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..
[Surat Al-Hujurat 10]
Diantara hak persaudaraan adalah saling membantu dan mengajak pada kebaikan, serta mencegah keburukan terjadi pada saudaranya.
Alloh berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71).
Seorang muslim akan selalu mencintai saudaranya. Karena mencintai saudara adalah diantara ciri kesempurnaan iman.
Dari Anas Bin Malik radhiyallohu 'anhu, Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, sampai ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri." (HR. Bukhori - Muslim)
Ibnu Hajar Al Asqalany menjelaskan,
وَالْمُرَاد هُنَا بِالْمَيْلِ الِاخْتِيَارِيّ دُون الطَّبِيعِيّ وَالْقَسْرِيّ ، وَالْمُرَاد أَيْضًا أَنْ يُحِبّ أَنْ يَحْصُل لِأَخِيهِ نَظِير مَا يَحْصُل لَهُ ، لَا عَيْنه ، سَوَاء كَانَ فِي الْأُمُور الْمَحْسُوسَة أَوْ الْمَعْنَوِيَّة ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنْ يَحْصُل لِأَخِيهِ مَا حَصَلَ لَهُ لَا مَعَ سَلْبه عَنْهُ وَلَا مَعَ بَقَائِهِ بِعَيْنِهِ لَهُ
“Cinta yang dimaksud di sini adalah keinginan (agar orang yang dicintai mendapatkan kebaikan) yang bersifat diusahakan. Bukan sekedar watak asli atau sebab paksaan. Selain itu, ia suka bila saudaranya memperoleh sama dengan seperti yang ia peroleh. Tidak harus sama persis. Entah itu dalam hal-hal yang nampak oleh mata atau tidak.
Dan juga, maksud si saudara memperoleh apa yang ia peroleh, artinya tidak harus si pelaku kehilangan perolehan tersebut atau tetap memiliki perolehan tersebut.”
Maka sebagaimana seseorang senang mendapatkan kebaikan, maka ia juga ingin agar saudaranya mendapatkan kebaikan pula. Sebaliknya, sebagaimana ia tidak suka mendapatkan keburukan, maka ia juga tidak suka jika saudaranya mendapatkan keburukan.
Diantara makna islam adalah keselamatan. Oleh karena itu seorang muslim akan berusaha agar dirinya selamat dan saudaranya juga selamat.
Dari Abdulloh Bin 'Amru radhiyallohu 'anhu, Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مِنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
"Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR. Bukhari).
*5. Jangan Tertawa Berlebihan, Sebab Hal Itu Dapat Mematikan Hati*
Hati adalah organ tubuh yang paling penting.
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka akan baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka akan rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Hendaknya seorang hamba berusaha menjaga hatinya agar tetap hidup. Hati yang hidup adalah hati yang ringan dalam mentaati perintah-perintah Alloh dan ringan pula dalam menjauhi larangan-larangan Alloh.
Manakala hati terasa berat dalam melaksanakan perintah dan berat menjauhi larangan, maka disaat itu hati sedang sakit. Dan ketika hati sudah tidak bisa menerima nasehat, tidak peduli lagi terhadap perintah dan larangan maka itu pertanda hati mulai mati.
Dan diantara perkara yang dapat mematikan hati adalah banyak tertawa bukan pada tempatnya dengan berlebihan.
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam adalah pribadi yang senantiasa menyenangkan. Beliau juga terkadang tersenyum, kadang menangis dan kadang juga tertawa. Namun tawa dan canda beliau tidak sampai melalaikan.
Hendaknya kita proporsional dalam canda kita. Dan selayaknya senantiasa muhasabah dengan amalan kita. Jika banyak dosa dan sedikit amal kebaikan, maka tidak layak banyak tertawa.
Alloh berfirman,
فَلۡیَضۡحَكُوا۟ قَلِیلࣰا وَلۡیَبۡكُوا۟ كَثِیرࣰا جَزَاۤءَۢ بِمَا كَانُوا۟ یَكۡسِبُونَ
Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat.
[Surat At-Taubah 82]
Catatan:
Materi Sanlat 26 April 2021
No comments:
Post a Comment