Malam ini aku termangu. Kedua tanganku memegang sebuah celengan berbentuk ayam dengan warna hijau. Celengan yang sangat bernilai dan berharga bagi santriwati di pondok tempatku berbagi ilmu.
Santriwati itu bernama Nadira. Nama yang sangat singkat tapi cantik dan indah. Nadira masuk asrama pondok ketika berusia 4 tahun.
Waktu itu ada seorang nenek yang datang ke pondok dan menitipkannya kepada pengurus pondok. Dari penuturan sang nenek, orangtua Nadira sudah tiada karena peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sang nenek yang miskin merasa tak bisa merawat Nadira dengan baik. Maklum nenek Nadira adalah pemulung. Meski demikian nenek Nadira sangat taat beribadah.
"Saya tidak bisa merawatnya sendiri, ustadzah. Saya harus memulung sampah. Kasihan kalau Dira ikut memulung sampah. Biar dia di sini. Seminggu sekali saya jenguk dia biar nggak kangen...", Begitu penuturan nenek Dira.
Dan benar, Nadira akhirnya dititipkan di pondok kami. Ada perasaan iba, trenyuh karena anak sekecil itu sudah kehilangan orangtua. Dan kini Dira juga harus ditinggal neneknya karena keterbatasan ekonomi. Meski demikian Dira tetap bahagia karena sang nenek setiap seminggu sekali menjenguknya. Dengan oleh-oleh makanan ringan lima jenis dengan harga seribuan pun sudah membuat Dira kecil melonjak kegirangan.
Adapun mengenai keberadaan orangtuanya belum kami beritahukan kepadanya. Nenek Dira meminta kami merahasiakan dulu sampai dia remaja. Kami hanya menuruti keinginan nenek Dira meski dalam hati kecil kami rasanya juga tak tega.
Kami membiarkan Dira kecil tumbuh dengan riang. Diasuh dan dibesarkan bersama santri-santri lainnya, Dira merasa memiliki banyak saudara. Dira adalah santriwati termuda.
Dira sering mengatakan keinginannya untuk dijenguk orangtuanya seperti santri lainnya. Dira hanya tahu bahwa orangtuanya sedang bekerja di luar negeri.
"Ustadzah, kenapa ayah ibuku belum menjengukku seperti teman-teman ya?", Tanyanya suatu ketika.
"Dira, orangtuamu bekerja di luar negeri kan? Jauh banget dari sini. Sekarang orangtuamu baru mengumpulkan uang untuk menjengukmu di sini...", Jawabku. Setiap dia menanyakan orangtuanya aku rasanya tak tega. Dari tahun ke tahun, Dira mendapatkan jawaban yang sama dariku.
"Kalau begitu aku ingin punya HP, ustadzah. Buat nelpon ayah dan ibu kalau aku kangen...", Ucapnya.
"Tapi di pondok nggak boleh bawa dan pegang HP lho, Dira...", Elakku.
"Ya aku nanti menitipkan HP sama ustadzah saja..."
"Tapi kamu kan nggak punya uang...", Ujarku.
"Aku mau nabung, ustadzah. Kalau nenek kemari untuk menjengukku, aku minta uang saja. Uang untuk oleh-oleh kucelengi biar cepet dapet banyak uangnya..."
Akhirnya ketika nenek Dira menjenguknya, Dira hanya minta uang ganti dari pembelian snack saja.
"Tapi nenek pingin ngasih oleh-oleh ke kamu, ndhuk...", Ucap nenek Dira ketika Dira bilang ingin nyelengi uang. Sang nenek hanya bisa diam dan menghela nafas panjang. Aku menatapnya. Nenek Dira juga memandangku seolah meminta pertimbanganku. Aku hanya menganggukkan kepala.
Mulai minggu berikutnya Dira nyelengi uang di celengan yang kubelikan. Celengan dari plastik berbentuk ayam berwarna hijau. Dira sangat senang ketika kuberi celengan itu.
"Kamu yakin nggak kepingin oleh-oleh, ndhuk?", Tanya nenek Dira. Dengan mantap Dira menganggukkan kepalanya.
"Di pondok sudah diberi makan nasi, lauk dan cemilan kok, nek. Nggak usah khawatir...", Jawab Dira sambil tersenyum.
Kini celengan itu sudah penuh. Ya...setiap nenek ke pondok untuk menjenguk Dira, Dira bisa nyelengi uang lima ribu, baik dalam bentuk uang kertas maupun koin.
Tapi setelah celengan itu penuh, Dira berubah pikiran.
"Ustadzah, celenganku buat bantu musibah tsunami di Banten saja ya...", Ungkapnya setelah mendengar berita bahwa di Banten terjadi musibah tsunami. Aku kaget sekali. Dulu dia begitu bersemangat untuk membeli HP demi menelepon orangtuanya tapi malah berubah arah.
"Kamu yakin, Dira?", Tanyaku.
"Iya. Nggak apa-apa, ustadzah. Aku ingin seperti teman-teman yang mengumpulkan uang untuk membantu korban tsunami..."
"Tapi membantu tak harus dengan uang lho, Dira..."
"Aku nggak punya apa-apa yang bisa disumbangkan, ustadzah. Aku hanya punya celengan itu"
"Terus bagaimana dengan keinginan kamu untuk membeli HP?"
"Lain kali saja, ustadzah. Aku bisa nyelengi lagi kok..."
Mendengar ucapannya itu hatiku menangis. Anak yatim piatu yang selalu prihatin itu sangat memikirkan penderitaan orang lain. Dia ingin membantu korban bencana alam di Banten.
"Korban-korban tsunami itu lebih membutuhkan celenganku, ustadzah. Aku di sini sudah berkecukupan. Kalau rindu orangtuaku ya aku tahan dulu. Kan masih ada nenek yang tiap Minggu ke sini..."
Ah...anak yang shalihah sekali. Neneknya pasti sangat bangga dengan cucu cantiknya itu.
"Kamu pasti sangat disayangi nenek dan orangtuamu, Dira", kataku sambil menahan air mata dan memeluknya. Dira melepaskan pelukanku ketika merasakan air mataku jatuh mengenai pipinya yang mulus.
"Kenapa ustadzah menangis?"
"Karena kamu sangat baik, Dira. Kamu bikin terharu ustadzah," jawabku.
Dira tersenyum dan hendak menuju kamarnya.
"Tunggu, Dira...", Panggilku.
Dira mengurungkan langkahnya ke kamar.
"Iya, ustadzah. Ada apa ya?"
Aku menatap gadis kecil delapan tahun itu. "Kamu bisa menelepon orangtuamu selepas shalat fardhu, Dira...", Ucapku.
" Selepas shalat? Maksud ustadzah?"
"Maksudnya, kamu bisa berkomunikasi dengan Allah agar Allah menggerakkan hati orangtuamu untuk selalu menyayangimu. Rasa kangenmu kepada mereka pasti terobati dan sampai ke orangtuamu."
Dira kecil itu memperhatikan penuturanku.
"Jangan lupa, kamu doakan kedua orangtuamu setelah shalat."
Dira mengangguk dan berlalu dari pandanganku.
Saat ini aku benar-benar diberikan sebuah pelajaran dari Dira kecil untuk berkorban dan membantu orang lain meski kadang kondisi keuangan kadang memprihatinkan.
Kupandangi celengan ayam berwarna hijau itu. Sebuah celengan berbumbu cinta untuk orangtua Dira tapi akan sampai kepada sahabat Dira di Banten sana. Esok hari akan kuserahkan melalui Lazismu bersamaan bantuan dari teman Dira dan segenap pengurus pondok pesantren ini. Lazismu nanti yang menyalurkan bantuan ke daerah yang terkena bencana alam.
Santriwati itu bernama Nadira. Nama yang sangat singkat tapi cantik dan indah. Nadira masuk asrama pondok ketika berusia 4 tahun.
Waktu itu ada seorang nenek yang datang ke pondok dan menitipkannya kepada pengurus pondok. Dari penuturan sang nenek, orangtua Nadira sudah tiada karena peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sang nenek yang miskin merasa tak bisa merawat Nadira dengan baik. Maklum nenek Nadira adalah pemulung. Meski demikian nenek Nadira sangat taat beribadah.
"Saya tidak bisa merawatnya sendiri, ustadzah. Saya harus memulung sampah. Kasihan kalau Dira ikut memulung sampah. Biar dia di sini. Seminggu sekali saya jenguk dia biar nggak kangen...", Begitu penuturan nenek Dira.
Dan benar, Nadira akhirnya dititipkan di pondok kami. Ada perasaan iba, trenyuh karena anak sekecil itu sudah kehilangan orangtua. Dan kini Dira juga harus ditinggal neneknya karena keterbatasan ekonomi. Meski demikian Dira tetap bahagia karena sang nenek setiap seminggu sekali menjenguknya. Dengan oleh-oleh makanan ringan lima jenis dengan harga seribuan pun sudah membuat Dira kecil melonjak kegirangan.
Adapun mengenai keberadaan orangtuanya belum kami beritahukan kepadanya. Nenek Dira meminta kami merahasiakan dulu sampai dia remaja. Kami hanya menuruti keinginan nenek Dira meski dalam hati kecil kami rasanya juga tak tega.
Kami membiarkan Dira kecil tumbuh dengan riang. Diasuh dan dibesarkan bersama santri-santri lainnya, Dira merasa memiliki banyak saudara. Dira adalah santriwati termuda.
Dira sering mengatakan keinginannya untuk dijenguk orangtuanya seperti santri lainnya. Dira hanya tahu bahwa orangtuanya sedang bekerja di luar negeri.
"Ustadzah, kenapa ayah ibuku belum menjengukku seperti teman-teman ya?", Tanyanya suatu ketika.
"Dira, orangtuamu bekerja di luar negeri kan? Jauh banget dari sini. Sekarang orangtuamu baru mengumpulkan uang untuk menjengukmu di sini...", Jawabku. Setiap dia menanyakan orangtuanya aku rasanya tak tega. Dari tahun ke tahun, Dira mendapatkan jawaban yang sama dariku.
"Kalau begitu aku ingin punya HP, ustadzah. Buat nelpon ayah dan ibu kalau aku kangen...", Ucapnya.
"Tapi di pondok nggak boleh bawa dan pegang HP lho, Dira...", Elakku.
"Ya aku nanti menitipkan HP sama ustadzah saja..."
"Tapi kamu kan nggak punya uang...", Ujarku.
"Aku mau nabung, ustadzah. Kalau nenek kemari untuk menjengukku, aku minta uang saja. Uang untuk oleh-oleh kucelengi biar cepet dapet banyak uangnya..."
Akhirnya ketika nenek Dira menjenguknya, Dira hanya minta uang ganti dari pembelian snack saja.
"Tapi nenek pingin ngasih oleh-oleh ke kamu, ndhuk...", Ucap nenek Dira ketika Dira bilang ingin nyelengi uang. Sang nenek hanya bisa diam dan menghela nafas panjang. Aku menatapnya. Nenek Dira juga memandangku seolah meminta pertimbanganku. Aku hanya menganggukkan kepala.
Mulai minggu berikutnya Dira nyelengi uang di celengan yang kubelikan. Celengan dari plastik berbentuk ayam berwarna hijau. Dira sangat senang ketika kuberi celengan itu.
"Kamu yakin nggak kepingin oleh-oleh, ndhuk?", Tanya nenek Dira. Dengan mantap Dira menganggukkan kepalanya.
"Di pondok sudah diberi makan nasi, lauk dan cemilan kok, nek. Nggak usah khawatir...", Jawab Dira sambil tersenyum.
Kini celengan itu sudah penuh. Ya...setiap nenek ke pondok untuk menjenguk Dira, Dira bisa nyelengi uang lima ribu, baik dalam bentuk uang kertas maupun koin.
Tapi setelah celengan itu penuh, Dira berubah pikiran.
"Ustadzah, celenganku buat bantu musibah tsunami di Banten saja ya...", Ungkapnya setelah mendengar berita bahwa di Banten terjadi musibah tsunami. Aku kaget sekali. Dulu dia begitu bersemangat untuk membeli HP demi menelepon orangtuanya tapi malah berubah arah.
"Kamu yakin, Dira?", Tanyaku.
"Iya. Nggak apa-apa, ustadzah. Aku ingin seperti teman-teman yang mengumpulkan uang untuk membantu korban tsunami..."
"Tapi membantu tak harus dengan uang lho, Dira..."
"Aku nggak punya apa-apa yang bisa disumbangkan, ustadzah. Aku hanya punya celengan itu"
"Terus bagaimana dengan keinginan kamu untuk membeli HP?"
"Lain kali saja, ustadzah. Aku bisa nyelengi lagi kok..."
Mendengar ucapannya itu hatiku menangis. Anak yatim piatu yang selalu prihatin itu sangat memikirkan penderitaan orang lain. Dia ingin membantu korban bencana alam di Banten.
"Korban-korban tsunami itu lebih membutuhkan celenganku, ustadzah. Aku di sini sudah berkecukupan. Kalau rindu orangtuaku ya aku tahan dulu. Kan masih ada nenek yang tiap Minggu ke sini..."
Ah...anak yang shalihah sekali. Neneknya pasti sangat bangga dengan cucu cantiknya itu.
"Kamu pasti sangat disayangi nenek dan orangtuamu, Dira", kataku sambil menahan air mata dan memeluknya. Dira melepaskan pelukanku ketika merasakan air mataku jatuh mengenai pipinya yang mulus.
"Kenapa ustadzah menangis?"
"Karena kamu sangat baik, Dira. Kamu bikin terharu ustadzah," jawabku.
Dira tersenyum dan hendak menuju kamarnya.
"Tunggu, Dira...", Panggilku.
Dira mengurungkan langkahnya ke kamar.
"Iya, ustadzah. Ada apa ya?"
Aku menatap gadis kecil delapan tahun itu. "Kamu bisa menelepon orangtuamu selepas shalat fardhu, Dira...", Ucapku.
" Selepas shalat? Maksud ustadzah?"
"Maksudnya, kamu bisa berkomunikasi dengan Allah agar Allah menggerakkan hati orangtuamu untuk selalu menyayangimu. Rasa kangenmu kepada mereka pasti terobati dan sampai ke orangtuamu."
Dira kecil itu memperhatikan penuturanku.
"Jangan lupa, kamu doakan kedua orangtuamu setelah shalat."
Dira mengangguk dan berlalu dari pandanganku.
Saat ini aku benar-benar diberikan sebuah pelajaran dari Dira kecil untuk berkorban dan membantu orang lain meski kadang kondisi keuangan kadang memprihatinkan.
Kupandangi celengan ayam berwarna hijau itu. Sebuah celengan berbumbu cinta untuk orangtua Dira tapi akan sampai kepada sahabat Dira di Banten sana. Esok hari akan kuserahkan melalui Lazismu bersamaan bantuan dari teman Dira dan segenap pengurus pondok pesantren ini. Lazismu nanti yang menyalurkan bantuan ke daerah yang terkena bencana alam.
--
Repost dari Sini
---
No comments:
Post a Comment