Sunday, May 26, 2019

Paradigma Pembelajaran Guru sebagai Learning Manager, Hambatan dan Tantangannya

Paradigma Guru sebagai Learning Manager, Hambatan dan Tantangannya

Membuka hari setelah sahur dan imsak serta Subuh tiba, saya membaca sebuah artikel tentang dunia pendidikan. Bagaimanapun sebagai pendidik saya cenderung tertarik dengan berita pendidikan juga.

Yang saya baca kali ini tentang guru yang dalam era Revolusi Industri 4.0 harus mengubah paradigma pembelajarannya yaitu mengubah paradigma pembelajaran dari yang awalnya guru sebagai pusat pembelajar menjadi learning manager.

Menarik sebenarnya dan saya yakin hampir semua guru mendukung perubahan paradigma pembelajaran tersebut. Tugas guru seharusnya menyiapkan dan memotivasi siswa untuk selalu belajar, dan mandiri. Metode yang diberikan mengadopsi atau mengambil metode berbasis serba teknologi.

Secara tradisional, guru sebagai pusat pembelajar hanya mengajarkan cara menulis, membaca dan menghitung. Namun dengan Learning Manager guru tak hanya mengajarkan ketiga hal tersebut. Guru harus juga bertindak sebagai learning manager yang mampu menuntun dan memotivasi siswa memanfaatkan metode pembelajaran berbasis teknologi dengan baik.

Jika mengubah paradigma tersebut, secara otomatis kegiatan belajar mengajar di dalam kelas juga harus berubah. Komunikasi yang dibangun dalam pembelajaran tidak lagi satu arah(sentralistik), dari guru kepada siswa. Siswa dirangsang untuk lebih terbuka dalam menyaring ide untuk memicu diskusi yang argumentatif dan terbiasa berpikir kritis.

Saya pribadi sangat setuju dengan paradigma pembelajaran Learning Manager. Namun pembelajaran seperti ini bisa dilaksanakan secara bertahap. Ada banyak hal yang menjadi hambatan tantangan.

Pertama, keterbatasan sarana dan prasarana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sarana prasarana pendidikan yang mengarah ke pemanfaatan teknologi belum terpenuhi. Tak semua sekolah memiliki fasilitas komputer dan internet. Ini terjadi di daerah Jawa, apalagi di luar pulau Jawa.

Untuk pelaksanaan UNBK saja di SMP dan SMA/K dan terkadang untuk sinkron soal merasa kesulitan. Belum lagi server sering error dalam pelaksanaan UNBK.

Jika kondisi ini terus terjadi maka bagaimana mungkin guru bisa memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran dan bisa merangsang siswa agar berpikir mandiri,kritis dan kreatif secara menyeluruh?

Hal ini masih dipersulit lagi dalam penggunaan Dana BOS yang menyulitkan sekolah untuk pengadaan komputer atau laptop. Jika menarik iuran dari orang tua juga tak mungkin dan menyalahi aturan. Mereka tahunya sekolah itu gratis. Padahal jika gratis maka guru juga sangat terbatas memperkaya metode pembelajaran. Siswa juga tak bisa mengakses internet dalam menyiapkan kemandirian, berpikir kritis dan kreatifnya.

Kedua, orangtua dan siswa belum siap dengan paradigma pembelajaran Learning Manager.
Yang tak kalah penting, menurut pengalaman saya, para siswa belum siap untuk belajar secara mandiri. Terbukti daya membaca siswa sangat memprihatinkan. Membaca hanya dilakukan di sekolah.

Sementara di rumah para siswa tak mau membaca. Bahkan sekadar mengerjakan tugas pun lalai. Padahal saya pribadi tak setiap minggu memberikan tugas. Mengingat guru tak diperbolehkan terlalu banyak memberikan tugas rumah.

Terlihat dari kasus ini bahwa siswa memang belum siap belajar mandiri di rumah. Bisa jadi orangtua ---meski tidak semuanya--- tak memantau perkembangan belajar anak ketika di rumah. Seolah mereka tak punya tanggung jawab mendidik anak. Orangtua masih menggantungkan keberhasilan dan kesuksesan belajar sang anak kepada pihak sekolah (guru).

Saya sering merasa sedih jika ada orangtua yang seolah lepas tangan untuk memantau perkembangan belajar anak di rumah. Alangkah enaknya menjadi orangtua jika segala sesuatu yang terjadi pada anak menjadi tanggung jawab guru di sekolah.

Padahal untuk mendidik dan mengarahkan siswa pun kadang guru menghadapi orang tua Siswantini yang tak terima jika siswa mendapat tindakan kekerasan verbal dan non verbal.

Mereka akan protes jika anaknya dirapikan rambutnya secara "paksa" di sekolah. Saya rasa terlalu banyak kasus dimana orangtua mau ikut campur mengurusi anak di sekolah. Anehnya ketika di rumah mereka tak mendidik dan memantau sang anak dengan baik.

Belum lagi sorotan negatif dari orangtua karena anaknya kesulitan mengerjakan UN. Guru dinilai gagal memberikan ilmu kepada sang anak. Malah ketika ada rumor atau mungkin wacana seorang menteri untuk mendatangkan guru dari luar negeri, hal tersebut dianggapnya sebagai angin segar bagi orangtua. Seolah guru tak berhasil mendidik anaknya. Padahal kesuksesan anaknya juga melibatkan motivasi siswa, orangtua dan masyarakat serta pemangku kebijakan.

Orangtua juga harus menyadari diri dan tak sepenuhnya menyalahkan sekolah. Jika ternyata mereka kesulitan mendampingi anak dalam belajar maka mereka pasti punya solusi terbaik agar anak mandiri dalam belajar.

Dengan adanya kerjasama berbagai pihak maka tak ada yang tak mungkin dalam melaksanakan Learning Manager.
**

Saya posting di Kompasiana, Sabtu 25 Mei 2019

No comments:

Post a Comment