PPDB Sistem Zonasi, Kelebihan dan Kekurangannya
Setiap akhir tahun pelajaran di berbagai media sering membahas sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Memang sistem ini menarik dibahas karena berkaitan pandangan masyarakat terhadap kualitas sekolah dan guru.
Sebelum dicanangkannya sistem zonasi maka orangtua dan anak yang memiliki prestasi bisa masuk di sekolah favorit. Anak-anak ketika akan menghadapi ujian pasti punya semangat belajar luar biasa karena merasa dirinya harus memiliki nilai tinggi agar bisa masuk sekolah favorit dengan guru yang mereka nilai berkualitas tinggi pula.
Seiring berkembangnya kebijakan di mana orangtua dan siswa tidak bisa memilih sekolah lanjutan sesuai keinginan maka di kalangan sekolah dan rumah, anak-anak sudah malas duluan belajar. Mereka, para siswa terutama, sudah tahu bahwa seberapapun nilainya takkan bisa membantu banyak hal dalam memilih sekolah.
Sekolah favorit yang semula diserbu para siswa yang pintar, mau tak mau harus menerima siswa yang kemampuannya biasa saja. Ini dinilai adil dalam hal tantangan bagi guru. Guru di sekolah manapun punya tantangan yang sama dalam mendidik siswa.
Namun sekali lagi para siswa pintar merasa dirugikan karena memang sarpras dan fasilitas pendidikan jelas lebih bagus di sekolah yang tadinya favorit. Meski sebenarnya pada perkembangannya seluruh sekolah akan memiliki fasilitas juga sarpras yang sama.
Yang perlu ditekankan di sini adalah kurangnya gereget belajar siswa. Toh mereka akan manut saja dengan kebijakan atau keputusan final di mana dia bisa melanjutkan sekolah. Kebijakan atau penentuan sekolah berada di tangan Dinas Pendidikan di kabupaten.
Pernah di sekolah kami ketika akan menerima sosialisasi dari sekolah lanjutan baik sekolah negeri maupun swasta melihat selebarannya. Dengan santai anak didik kami mengobrol. Kebetulan banyak guru yang mendengar percakapan itu.
Ada salah satu siswa yang mengejek salah satu sekolah dan tak mau melanjutkan di sekolah tersebut. Saya prihatin tentunya. Saya hafal kemampuan anak tersebut, membaca juga belum lancar dan kurang memahaminya. Tapi saya pikir dia juga tak perlu menghina salah satu sekolah.
Saya sempat menegur anak tersebut. Ucapan itu tak layak diucapkan. Saya kira memang sekolah dimanapun sama. Kemampuan guru juga sama. Hanya saja dulu, sebelum sistem zonasi PPDB, sekolah favorit lebih mudah mendapat prestasi karena inputnya sudah top. Sedang sekolah non favorit inputnya memang kurang.
Saya sempat menasehati para siswa juga, mereka boleh sekolah dimanapun asal mau belajar. Tapi nyatanya masih saja yang santai dalam belajar. "Buat apa belajar, kan tinggal dekat dengan SMP X. Aku pasti bisa masuk sekolah di sana", begitu pikir siswa.
Nah kalau para siswa sudah berpikir seperti itu, guru sulit memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar. Terus terang seperti itu. Tentu saya pribadi juga merasa gemas juga dengan para siswa unik yang enggan belajar itu.
Kami, guru di sekolah, sering menjadi tumpuan kesuksesan belajar para siswa baik oleh orang tua, wali atau bahkan pemangku kebijakan. Kami akan diprotes oleh orangtua siswa karena anaknya tidak bisa mnegerjakan soal PTS, PAS, PAT bahkan USBN atau UN.
Begitu juga pemangku kebijakan. Mereka akan menegur jika prestasi siswa tidak bagus. Bahkan Bu Sri Mulyani, pernah mempertanyakan kualitas guru yang berbanding terbalik dengan tunjangan yang diperoleh setiap bulannya. Tunjangan tersebut tak bisa meningkatkan prestasi pendidikan di kancah internasional.
Entahlah saya sendiri kadang merasa bingung juga. Ketika diadakan diklat kependidikan para guru dituntut untuk memanusiakan anak didik. Akan tetapi ada juga yang menekan guru karena tak bisa memintarkan siswa.
Sistem pendidikan di Indonesia memang belumlah terlalu bagus. Masih perlu disempurnakan sedikit demi sedikit. Program PPDB dengan sistem zonasi adalah bentuk sekolah yang memanusiakan para siswa. Kita perlu dukung itu. Akan tetapi jika mengharuskan output yang berkualitas jelas tantangannya luar biasa.
Para siswa yang sejak awal terbiasa santai dalam belajar ya sulit untuk lebih rajin. Sehingga dalam proses pembelajaran di sekolah lanjutan pun mereka tak punya gereget. Hal ini karena mereka hanya berpikir bahwa mereka bisa sekolah di manapun sesuai zonasi.
Jadi kalau mempertanyakan kualitas guru maka lebih baik kita melihat banyak hal yang menjadi penyebabnya. Tak hanya salahkan guru sehingga negara merasa sedikit rugi memberikan tunjangan untuk mereka.
Lebih baik jika sistem zonasi PPDB diberlakukan, kita biarkan proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Yang perlu ditekankan dalam pembelajaran ya memanusiakan anak didik. Sehingga guru bisa lebih fokus mendidik tanpa merasa tertekan karena jika guru merasa tertekan agar bisa menghasilkan siswa yang berprestasi malah yang ada akan stres dan tak lagi memanusiakan siswanya. Pada akhirnya siswa juga akan stres jika mendapatkan dirinya tak dimanusiakan dalam proses pembelajaran.
Pada akhirnya kita memang masih berharap bahwa kualitas pendidikan tetap tinggi meski siswa diterima di sekolah melalui PPDB sistem zonasi. Segala sesuatu tidak ada yang tak mungkin. Yang jelas tri pusat pendidikan harus saling bekerjasama dalam menyukseskan pendidikan. Pemangku kebijakan juga harus memotivasi guru dan sekolah, jangan sampai menyalahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah jika anak didik masih kurang berkualitas.
Semoga bermanfaat.
***Tulisan telah terposting di Kompasiana dengan judul yang sama.
Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL
ReplyDeleteAnda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vit
Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY
Whatsapp : 0812-222-2996
POKERVITA