Didan berlari sambil menangis. Dipanggil ibunya berulang-ulang. Tak ada jawaban.
Didan baru saja dari kamar mandi. Dia merasakan perutnya sakit. Beberapa hari tidak bisa BAB. Tentu keadaan itu sangat menyiksa Didan. Didan saat ini duduk di TK B.
"Ibu… ibu….!" panggil Didan.
Didan mencari ibu di kamar. Tak ditemukannya. Lalu dia berlanjut mencari ke dapur. Di sana juga tidak ada. Namun dilihatnya pintu bagian belakang dapur terbuka.
Segera Didan ke sana. Didan lega, ibu berada di dekat sumur. Ibu sedang memetik sayuran yang tumbuh subur di sana. Di tangan ibu memegang tenggok kecil yang digunakan untuk wadah sayuran.
Ibu memang rajin menanam sayuran di belakang rumah. Untuk lauk, kata ibu. Ada sayur bayam, wortel, terong, seledri, kangkung, tomat. Kebetulan lahan di belakang rumah cukup luas.
"Ibu, dipanggil kok nggak jawab!"
Ibu yang sedang konsentrasi memetik sayuran terkejut.
"Astaghfir. Ibu kaget, nak…"
Ibu mendekati Didan yang matanya sembab. Diletakkannya tenggok kecil di dekat bangku panjang di dekat pintu dapur.
"Lho, kamu kenapa, nak? Habis nangis?" tanya ibu dengan lembut. Diajaknya Didan duduk di bangku panjang.
Sesekali Didan menggosok hidungnya yang penuh ingus karena menangis.
"Coba, kamu cerita ke ibu ya. Kenapa kamu menangis?"
Dengan sedikit terisak Didan menceritakan penyebab dia menangis.
"Perutku sakit, bu. Aku nggak bisa BAB…"
Ibu tersenyum. Didan memang mengeluhkan tidak bisa BAB beberapa hari ini.
"Oh...masih sakit perutnya?"
Didan mengangguk.
"Ibu kan sering bilang kalau kamu harus makan sayuran dan buah kan, nak. Biar kotoran bisa mudah keluar. Kamu malah marah…"
Didan diam. Menahan perutnya yang terasa sakit dan keras. Sesekali tangannya memegangi perutnya.
"Aku nggak suka sayuran. Nggak enak. Kalau makan sayuran kan seperti embek sama emoh…"
Ibu menahan tawa. Didan sering beranggapan bahwa sayuran itu seperti makanan sapi dan kambing.
"Terus kamu pinginnya gimana, nak?"
"Aku ingin diperiksa dokter. Biar dikasih obat yang bikin perut nggak sakit lagi…"
**
Ibu dan Didan sudah siap untuk pergi ke dokter anak. Ibu hanya menuruti keinginan anak lelaki satu-satunya itu. Ayah belum pulang. Menjelang Maghrib barulah sampai rumah. Jadi tidak mungkin mengantar ke dokter.
Ibu mengunci pintu rumah. Sementara Didan duduk di kursi yang berada di teras rumah.
Tiba-tiba sebuah kendaraan bermotor berhenti di depan rumah. Didan melihat ke arah motor berhenti.
"Om Ahmad!" seru Didan, begitu melihat lelaki pengendara motor itu. Om Ahmad adalah adik ibu Didan. Om Ahmad berprofesi sebagai dokter anak juga.
"Oh...ada om Ahmad. Kebetulan. Kita nggak perlu ke dokter Tejo ya, nak…"
Om Ahmad segera ke beranda, menyalami ibu dan Didan.
"Rapi sekali kamu, Dan. Mau pergi ke mana nih…?" tanya om Ahmad ketika melihat Didan dan ibu rapi dan sudah bersiap-siap untuk pergi.
"Mau ke dokter, om…" Jawab Didan.
"Dokter? Kamu sakit?" om Ahmad bertanya heran.
"Sepertinya kamu baik-baik saja. Kok mau ke dokter segala…"
Didan nyengir mendengar ucapan om Ahmad.
"Beberapa hari Didan nggak lancar BABnya, om. Disuruh makan lauk sayuran dan makan buah nggak mau…" Terang ibu.
Om Ahmad duduk di dekat Didan. Sedangkan ibu kembali membuka pintu rumah dan masuk ke dalam rumah.
"Dan, bener ya yang ibu bilang tadi?"
Didan mengangguk.
"Kalau sakit seperti itu, kamu nggak perlu periksa ke dokter lho. Kamu bisa mencari obat di rumah…"
"Obat di rumah? Nggak ada, om! Ibu bilang sendiri tadi…"
Om Ahmad tersenyum melihat keponakannya berceloteh.
"Ya kalau maksudmu obat sirup ya pasti nggak ada, Dan…"
"Ah...om Ahmad bohong! Pasti ada…"
Om Ahmad tertawa terbahak-bahak. Keponakannya menganggapnya telah berbohong.
"Dan..Dan… kamu ini dibilangi kok malah nganggap om berbohong…"
Om Ahmad mencoba menjelaskan tentang obat yang bisa menyembuhkan sakit Didan itu.
"Obatnya hanya satu, Dan. Kamu mau tahu apa nggak?"
Didan mengangguk dengan semangat.
"Tapi, kamu janji ya. Mau dikasih obat itu…"
"Oke, om!"
Om Ahmad menjelaskan obat yang dimaksudnya tadi. Didan sangat kecewa. Obat yang dimaksud ternyata sayuran dan buah-buahan.
"Itu namanya bukan obat! Om sama ibu nyebelin!"
Didan mau masuk rumah. Om Ahmad menahannya.
"Kamu tadi janji kan kalau mau sama obatnya. Jadi ya kamu harus makan sayuran. Biar kotorannya nggak keras. Pasti perutmu akan terasa lebih enak nanti. Percaya sama om ya. Oke!"
Didan ragu untuk menjawab pertanyaan om Ahmad.
"Didan mau sembuh apa nggak? Kalau mau, Didan nurut sama om. Kamu makan sedikit-sedikit dulu. Rasakan, sayuran yang dimasak ibu lezat atau nggak…"
Didan masih tetap pada pendiriannya.
"Eh...masakan ibu enak lho. Om sendiri senang kalau ibumu masak. Om sekarang ke sini juga karena kangen masakan ibu…" om Ahmad meyakinkan Didan.
"Kalau nggak enak, aku nggak mau makan makanan sapi dan kambing lagi…!"
**
"Gimana, Dan? Masakan ibu enak nggak?" om Ahmad menyuapi Didan.
Ibu memasak sayur bobor bayam dicampur kacang panjang, taoge dan irisan tomat. Rasanya sedap sekali.
Didan sendiri sudah makan separo piring. Dia ingin menghabiskan makannya tapi perutnya tidak muat lagi.
"Ya udah. Memang kita nggak boleh kekenyangan, Dan. Kalau kekenyangan, kasihan lambungnya. Lambungnya akan capek melumatkan makanan yang masuk…"
**
Keesokan harinya.
"Ibu…! Ibuuu...!" Didan berteriak lagi. Ibu sangat terkejut. Ibu khawatir kalau Didan masih mengeluh sakit perut lagi.
"Ada apa, nak? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?"
Didan menggelengkan kepalanya. Ibu bernafas lega.
"Lalu kenapa kamu memanggil ibu seperti itu?"
Didan tersenyum. Dengan malu-malu Didan mengatakan sesuatu kepada ibunya.
"Ibu masak sayur lagi ya. Aku suka. Rasanya enak…"
"Oh ya?" ibu merasa senang sekaligus terkejut.
"Iya, bu. Perutku nggak sakit lagi sekarang…"
No comments:
Post a Comment