Kemarin sore salah satu teman mengirimkan pesan lewat whats app. Dia menanyakan bagaimana pendapat saya tentang alat yang harus disiapkan untuk kemah sehari anaknya. Dia bingung mau menyiapkan kayu bakar atau kompor portable.
Diceritakannya pada kemah beberapa saat yang lalu, segala yang dipersiapkan untuk keperluan kemah, berakhir dengan sia-sia. Banyak yang dibuang, mubadzir. Untuk keperluan makan, para orangtua malah merasa tidak tega. Dimanfaatkanlah gosend untuk makannya.
Saya agak geli juga membaca pesan teman saya. Orangtua zaman now. Begitu sayangnya pada anak, sampai begitu rempongnya menyiapkan keperluan untuk kemah sang buah hati. Tapi kerepotannya saya anggap tidak sebanding dengan hasilnya.
Saya pribadi mengemukakan bahwa kemah, terutama dalam kegiatan Pramuka atau Hizbul Wathan, bukanlah untuk hura-hura. Ada tujuan khusus dari kemah dalam kegiatan kepramukaan. Berbeda dengan kemah secara umum, yang menekankan pada kegiatan refreshing, sengaja dilakukan dan biasa dilaksanakan di alam terbuka entah menggunakan tenda, dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemah (kata benda) adalah tempat tinggal darurat, biasanya berupa tenda yang ujungnya hampir menyentuh tanah dibuat dari kain terpal dan sebagainya. perkemahan (kata benda) 1 hal berkemah; 2 himpunan kemah (pramuka, pasukan, dsb); tempat berkemah.
Pengalaman Berkemah masa Sekolah
Kemah yang saya alami, adalah saat SMP dan SMA. Dilaksanakan di sekitar Wanagama dan Ngalang, Nglipar. Saat kemah, pastinya banyak pengalaman yang kami dapatkan.
Memasak sendiri dengan kayu bakar atau kompor minyak. Matang sih masakannya, tetapi untuk urusan rasa, jelas tak seenak masakan ibu di rumah. Masakan sangit sudah biasa dan bisa tertelan juga.
Ada lagi pengalaman kondisi tenda basah. Maklumlah tenda zaman dulu belumlah seperti saat ini. Kondisi dingin, masakan tak enak, pakaian basah, itu sudah biasa.
Kami jadi tahu perjuangan ibu dalam menyiapkan masakan. Tentu juga berlatih diri untuk lebih menghargai masakan ibu, apapun itu. Manfaat lain juga kami rasakan, seperti melatih kekompakan dan kerjasama antar anggota kelompok atau regu dalam mengerjakan tugas dari pembina pramuka.
Pengalaman saya dan teman-teman, atau bahkan semua siswa zaman dahulu hampir sama. Pengalaman itu seru dan pastinya sesuai dengan tujuan perkemahan.
Saya kutip dari wikipedia, bahwa tujuan perkemahan adalah memberikan pengalaman adanya saling ketergantungan antara unsur-unsur alam dan kebutuhan untuk melestarikannya, menjaga lingkungan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab akan masa depan yang menghormati keseimbangan alam.
Jelas selama berkemah, para peserta kemah harus memperhatikan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Apabila kemah dilaksanakan di sekitar hutan dan sungai, para peserta berlatih juga memanfaatkan air sungai. Membawa air dalam ember untuk keperluan masak dan minum.
Tujuan lain dari perkemahan adalah mengembangkan kemampuan diri mengatasi tantangan yang dihadapi, menyadari tidak ada sesuatu yang berlebih di dalam dirinya, menemukan kembali cara hidup yang menyenangkan dalam kesederhanaan.
Selama bersekolah, segala keperluan disiapkan orangtua, terutama ibu. Jadi tinggal mengonsumsi yang sudah ada. Tetapi dalam berkemah, para peserta harus mengatasi tantangan ketika memasak, ketika hujan dan ternyata tenda bocor, membuat parit di sekitar tenda, agar aliran air tidak masuk dalam tenda dan sebagainya.
Berkemah adalah salah satu cara untuk hidup prihatin dan mandiri. Bukan untuk bermanja-manja. Meski banyak tantangan tetapi manfaatnya luar biasa untuk ke depannya.
Sayangnya orangtua malah tidak tega. Meski sudah menyiakan ini itu untuk keperluan pangan, hati tidak tenang. Khawatir kalau si anak tidak makan dan sebagainya.
Terakhir, berkemah bertujuan untuk membina kerjasama dan persatuan dan persaudaraan, seperti yang saya paparkan di atas. Kekompakan harus tertanam di hati masing-masing peserta karena perkemahan dalam kepramukaan pastilah banyak kegiatan dan tugas.
Berkemah zaman now
Saat ini lokasi perkemahan sangat banyak dan lebih rapi dan teratur. Bumi perkemahan dengan fasilitas yang lumayan menjadi pilihan sekolah untuk kegiatan perkemahan.
Para peserta dalam berkemah pun peralatannya lebih modern. Kompor yang dimanfaatkan untuk masak-memasak bukan lagi kompor minyak. Kompor portable. Semakin membuat ringan dalam memasak. Peserta tidak terancam dengan bau sangit karena untuk menyalakan kayu bakar atau cethik geni lumayan sulit juga. Belum lagi pedih di mata.
Namun dalam beberapa kesempatan kemah sederhana di sekitar kompleks sekolah, siswa kami diajak untuk memasak dengan kayu bakar. Mereka kesulitan cethik geni. Nah, pembinalah yang membantu untuk menyalakan api.
Dalam hal ini saya sangat salut dengan teman dan suaminya yang pada akhirnya memutuskan untuk mencarikan kayu bakar ke rumah nenek demi kegiatan kemah anaknya.
Kembali ke kemah yang dilakukan di sekolah kami, racik meracik sayuran pun dalam bimbingan pembina. Urusan rasa, para siswa tidak ambil pusing. Bahkan nasi terlalu lembek atau pero ---kurang air--- tetap terasa nikmat. Dalam bayangan saya, pasti seperti yang saya rasakan dulu ketika masa-masa sekolah.
Kemah, melatih kepekaan hati, pikiran agar memiliki pengalaman yang bermanfaat di kelak kemudian hari. Jadi ada baiknya orang tua bahagia ketika anak mengikuti kegiatan itu. Berikan pengertian yang tepat tentang kemah dalam kegiatan kepramukaan.
Biarkan anak mandiri. Toh tak selamanya anak bergantung pada orangtuanya. Biarkan anak belajar bersama teman dan pembinanya dalam perkemahan.
No comments:
Post a Comment