Ilustrasi: bincangsyariah.com
Menjelang masuk kerja semester genap tahun ini, salah seorang teman membagikan link tentang program tahunan dari yayasan, yaitu program dana hibah PTK dan PTS untuk guru dan Kepala Sekolah Yayasan.
Beberapa kali saya mengajukan proposal sesuai jadwal yang ditentukan dan lolos. Sayangnya saya tidak bisa mengikuti lokakarya selama tiga hari. Dengan begitu saya gagal mengikuti seluruh rangkaian program yayasan tingkat provinsi. Kecewa pastinya.
Namun ada alasan yang mengharuskan saya tidak melanjutkan rangkaian program. Ada undangan yang tak kalah penting yang waktu pelaksanaannya bersamaan dengan jadwal lokakarya.
Tahun inipun sebenarnya saya cukup senang dan berencana untuk mengikuti program yang sama. Lagi-lagi tahun ini saya tak bisa mengikuti program tadi. Yang jelas, pengiriman proposal begitu mepet waktunya. Selain itu, pembelajaran semester genap baru saja dimulai dan belum saya temukan permasalahan yang berat. Jadi, saya tak mungkin gegabah membuat atau menulis proposal karya ilmiah.
Menulis karya ilmiah tak semudah menulis esay. Meski sama-sama harus bisa dipertanggungjawabkan, namun dalam penulisan karya ilmiah ---PTK--- jelas membutuhkan banyak buku referensi. Harus ada landasan kajian pustaka yang relevan. Tak sekadar menceritakan tentang kesulitan dalam pembelajaran.
Meski saya agak kecewa, namun yang jelas, dalam keyakinan saya, menulis PTK tak harus menunggu ada program dari yayasan di tingkat provinsi. Yang penting, selama proses pembelajaran guru jeli dalam menangani masalah yang muncul.
Itu cara saya untuk menghibur rasa kecewa saya. Selain itu saya luangkan waktu untuk menulis esay atau artikel. Mengenai kualitas tulisan pastinya saya tidak bisa mengukur sendiri. Orang lainlah yang bisa menilai berkualitas atau tidaknya artikel saya.
Tentu saja ada rasa tidak percaya diri yang hinggap di hati dan pikiran saya. Namun setidaknya saya sebagai seorang pendidik juga harus bisa membiasakan diri saya untuk mencintai dunia literasi. Karya-karya itulah yang bisa menjadikan motivasi bagi anak didik untuk mau belajar juga. Jika bu guru belajar terus, maka siswa bisa melakukan hal yang serupa.
Menularkan hobi menulis
Menulis, sebuah aktivitas sederhana tetapi bisa dikatakan gampang-gampang susah. Semua orang yang tak lepas dari ponsel, selalu menulis. Entah menulis status di FB, IG, Twitter dan sebagainya.
Tulisan yang ringan, bisa berupa curhat, motivasi, publikasi karya dan lain-lain. Tulisan tersebut akan mengundang reaksi orang lain untuk berkomentar. Komentar pun berupa tulisan. Jadi, sebenarnya semua orang bisa menulis.
Sehubungan dengan hobi menulis yang saya dalami mulai 2013an, ada seorang sahabat yang mengusulkan agar saya mengajak teman saya lainnya untuk melakukan hal yang serupa. Bisa diawali dengan membagikan link tulisan saya agar bisa memotivasi rekan guru.
Usulan sahabat saya memang cukup menarik. Akan tetapi karena tak semua orang senang menulis dalam detail yang lebih serius dan panjang, reaksi teman bermacam. Ada yang bertanya, kok saya bisa menulis, kapan saya menulis, kok sempat-sempatnya menulis dan sebagainya.
Padahal sebenarnya merawat hobi memang harus disempat-sempatkan. Luangkan waktu untuk menulis beberapa paragraf dari draft yang sudah ada. Ya...seperti orang yang hobi nonton film atau traveling. Pastinya mereka menyempatkan dan meluangkan waktu untuk bisa menonton film atau traveling.
Beda lagi ketika saya membagikan tulisan berupa cernak. Salah satu kerabat yang tinggal di Jogja sangat senang. Bisa mendapat bahan bacaan untuk si kecil. Selain itu, kerabat saya bercerita kalau si sulung terinspirasi untuk menulis juga.
Karya puisi dan naskah drama karya si sulungnya tadi dikirimkan ke saya. Keduanya diikutkan dalam perlombaan.
Begitulah. Menularkan energi positif tentang dunia tulis menulis bukanlah perkara mudah. Namun yang jelas ketika memiliki kesenangan menulis maka ada kesempatan untuk mengeluarkan pendapat dan memberikan inspirasi bagi orang lain karena menulis tak hanya rangkaian kalimat tanpa makna. Menulis itu memiliki makna dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Ketika kemanfaatannya sangat luas, bukankah itu membuat orang lain bahagia? Bukankah hal itu akan membuat hati lebih senang?
No comments:
Post a Comment