Akhiri Sandiwara
Ilustrasi: intanandaru.wordpress.com
Rasanya lelah juga harus membohongi perempuan yang telah melahirkanku, juga melahirkan saudara-saudaraku. Kenapa aku dan saudara-saudara harus berbohong?
Ceritanya panjang. Semua berawal saat asam lambung dan gula darahku naik. Aku pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit.
Aku rasa semua pasien yang masuk rumah sakit pasti akan diswab. Dan benar, aku diswab dan hasilnya reaktif. Namun aku isoman di rumah.
Sesuai prosedur protokol kesehatan, semua anggota keluarga di rumah akhirnya diswab juga. Juan, anakku satu-satunya juga reaktif. Aku sempat khawatir karena dia memiliki riwayat asma.
Anggota keluarga, ibu dan adik ragilku, Wulan, juga reaktif. Kami berusaha untuk tetap tenang. Terapi uap dengan air panas ditetesi minyak kayu putih kami lakukan.
Dalam perjalanan dan perjuangan kami untuk sembuh, ternyata ibu dan Wulan harus dibawa ke rumah sakit. Sementara keadaanku dan Juan semakin membaik.
Kami terpaksa melepas ibu dan Wulan dibawa ke rumah sakit. Doa benar-benar kami panjatkan kepada Illahi untuk menguatkan ibu dan adik tercinta kami.
O iya. Wulan, adik kami tersayang, sangat berbeda dengan kakak-kakaknya. Dia termasuk anak down syndrom. Pernah bersekolah di SLB sekitar kelurahan. Biasanya dia berangkat ke sekolah bersama tetangga yang juga mengajar di SLB.
Menurut keilmuan, anak down syndrom, usianya tidak akan lama. Namun kami bersyukur, sampai tahun ini dia masih bersamaku dan ibu.
Setiap hari, aku dan kakak-kakak menanti kabar dari rumah sakit. Hingga ketakutan dan kekhawatiran kami terjadi.
Wulan berpulang ke Rahmatullah, tepat saat Idul Adha tiba. Rasanya seperti mimpi. Aku mengabarkan kepergian Wulan kepada kakak-kakak.
Tangis mewarnai video call yang kami lakukan. Adik yang pernah bersekolah di SLB itu tak bersama lagi denganku. Tak bersama dengan kami.
Lalu bagaimana keadaan ibu?
Alhamdulillah keadaan beliau semakin membaik. Aku dan semua saudara bersepakat, kalau ibu sudah bisa pulang dari rumah sakit, kepulangan Wulan akan kami rahasiakan dulu.
**
Akhirnya ibu pulang. Setiap hari masih proses penyembuhan. Pagi hari ibu berjemur untuk menghangatkan tubuh dan mempercepat proses penyembuhan.
Yang membuatku tak tega adalah kalau ibu menanyakan bagaimana Wulan. Aku hanya bilang kalau Wulan masih di rumah sakit. Padahal Wulan sudah dua mingguan tiada.
Berbulan-bulan kami membohongi ibu. Selama kami berbohong, ibu selalu menyisihkan nasi dan lauknya untuk Wulan. Lalu diberikan kepadaku untuk diantar ke rumah sakit.
Lagi-lagi aku bersandiwara. Nasi dan lauk dari ibu kubawa ke "rumah sakit". Meski sebenarnya nasi dan lauk itu tak pernah sampai ke putri ragil ibu.
Hatiku terasa teriris dan air mata selalu kutahan demi ibuku. Ya...meski aku lelaki dewasa, memiliki satu anak, namun melihat ibu selalu menyisihkan nasi untuk Wulan, rasanya membuatku hancur.
**
"Mbak, kita harus mengakhiri sandiwara ini. Kasihan ibu. Lama-lama aku tak tahan juga…" Aku memulai chat di grup keluarga besar.
"Iya, tapi harus benar-benar masak rencananya. Gimanapun ibu harus tahu…" Akhirnya kami susun rencana dan strategi untuk mengakhiri sandiwara.
**
Hari H yang ditentukan, aku dan tetangga pura-pura ke rumah sakit. Tengah malam.
"Lha ana apa, le? Wulan rak apik to?" Tanya ibu.
Aku bergegas ke luar rumah dan bilang ke ibu, "kita doakan yang terbaik buat adik ya, Bu…".
Tak lupa kusalami ibu.
Kukuatkan hatiku untuk mengakhiri kebohongan demi kebohongan. Dengan dibantu tetangga dan sahabat-sahabat.
***
Pagi harinya, aku pulang ke rumah. Kulihat tetangga dan teman-temanku di sana. Ibu masih terlihat tenang meski ada rasa penasaran dari raut mukanya.
Dengan pelan aku mengabarkan kepada ibu tentang Wulan.
"Bu, Wulan sudah nggak ada," ucapku singkat.
Ibu menatapku, tak percaya.
"Kowe mesti ngapusi ibu," ujar ibu sambil menggelengkan kepala dan tangisnya mulai pecah'.
Aku meyakinkan ibu. Juga tetangga-tetangga. Wulan sudah dimakamkan pukul 04.00. Aku tak boleh mendekat. Ceritaku kepada ibu.
"Ibu yang sabar ya. Dik Wulan sudah tenang di surga…"
Ibu menjadi histeris ketika mendengar ucapan tetangga kami. Kupeluk ibu. Sambil menangis, kucoba untuk menguatkan ibu.
"Njur mbak-mbakmu dho wis ngerti apa durung, le?" Tanya ibu, setelah kondisi ibu sedikit tenang.
Aku mengangguk pelan. Kuusap air mata ibu. Kugenggam erat tangan yang telah mengeriput itu.
No comments:
Post a Comment