Friday, September 03, 2021

Ibuku, Guruku

ilustrasi: origami.co.id


Duduk di kelas IV selama dua bulan ini tentu membuatku sangat bahagia. Ya... meski hampir satu semester pembelajaran secara online atau PJJ, aku bisa naik kelas. Alhamdulillaah.

Aku yakin teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Tidak masuk sekolah setiap pagi tentu membuat kami bahagia. Tetapi itu hanya pada awal pembelajaran online. Lama-lama aku bosan sekali.

Setiap hari hanya bertemu kakak perempuan dan adikku. Kakakku sekarang kelas VI. Sedang adikku sekarang harusnya sudah masuk sekolah di PAUD.


***

"Tugasnya segera dikerjakan, Fa." suara itu mengagetkanku. Maklum, aku baru konsentrasi menonton televisi. Setiap pagi aku menonton film kartun kesukaanku. Mulai dari Omar Hana, Riko sampai Adit Sopo Jarwo.

"Iya, bu. Nanti..."

Aku selalu menunda waktu untuk mengerjakan tugas. Tugas dari guruku sebenarnya tidak banyak. Tetapi justru itulah yang membuatku semakinsenang menunda-nunda pekerjaan.

Setelah puas menonton televisi, aku minta uang untuk jajan. Nah...kalau sudah dikasih uang jajan, aku mampir di rumah simbah. Biasanya aku di rumah simbah sampai sore.

Lagi-lagi aku menonton televisi di rumah simbah. Tak ada bosan-bosannya aku menonton televisi. Apalagi kalau mbak Lis, saudara sepupuku ke rumah simbah juga. Atau Kekey menyusulku. Tambah semangatlah aku dalam menonton televisi.

***

Suatu sore, di rumah simbah.

"Fa, gurumu siapa?"tanya simbahku.

Kebetulan ibu ke rumah simbah juga bersama adikku. Ibu mengawasi adik yang berlarian ke sana-kemari.

"Ibu," kujawab singkat pertanyaan simbah.

"Lha gurunya ibumu sendiri. Terus kamu sudah mengerjakan tugas apa belum?"

Aku tak menjawab. Hanya isyarat gelengan kepala.

Simbah hanya tertawa. Tak lama simbah menasehatiku.

"Kalau gurumu di sekolah itu ibumu sendiri, harusnya kamu lebih rajin. Setiap hari kan ketemu dan diajari bu gurumu," begitu nasehat simbah.

Ibu yang tadinya wira-wiri mengikuti adikku mengomentari perkataan simbah.

"Kalau Ifa ngeyel ya nggak dinaikkan ke kelas V, mbah," ucap ibuku.

Aku masih belum paham. Kenapa aku nggak bisa naik kelas? Bukankah aku tetap mengerjakan tugas? Meski tugas itu kukerjakan sore hari, kalau bapak pulang kerja. Aku paling takut kalau bapak marah karena aku belum mengerjakan tugas.

"Yang dinilai itu bukan hanya pekerjaan setiap mata pelajaran, Fa," kata ibu.

Ah...aku merasa ibu berbohong padaku.

"Kalau nggak percaya, tanya sama bulik saja."

***

"Fa, kalau bulik menilai dan menulis nilai di rapor itu juga ada nilai sikap. Nilai sikap itu ada macam-macam. Kedisiplinan, ketertiban dan masih banyak lagi. Kalau nilainya nggak baik pasti murid bulik nggak naik kelas. Makanya kamu harus tertib kalau mengerjakan tugas. Jangan lupa, bantu ibu dan bersikap yang baik sama ibu-bapak di manapun," terang bulik.

Aku memang suka ngeyel. Malah kadang marah kalau diingatkan ibu untuk membantu, merapikan kamar, membereskan mainan adik.

"Kamu pingin pinter dan naik kelas nggak," tanya bulik kemudian.

Aku mengangguk.

"Berarti kamu harus melakukan yang bulik bilang tadi..."


***

Keesokan paginya.

"Bu, sudah ada tugas apa belum?" aku bertanya kepada ibu.

"Belum. Sebentar lagi ya, Fa."

Mulai sekarang, aku akan lebih disiplin dan tertib kalau mengerjakan tugas. Juga akan menghilangkan kebiasaan marah-marahku kepada ibu. Aku sayang ibu, yang juga menjadi guru kelasku saat ini.




No comments:

Post a Comment