Perempuan Tua yang Teguh
Aku berada di depan rumah yang reot sudah termakan oleh waktu, maupun musim dan cuaca. Suasana rumah tampak lengang. Pintu kayu yang tak lagi bisa menutup sempurna tak dipedulikan sang pemilik rumah.
Mbah Umi. Kami biasa menyapanya begitu. Sosok perempuan tua tangguh, sekalipun anak-cucunya jarang menjenguknya. Sedangkan suaminya tahun lalu meninggalkannya. Suami Mbah Umi meninggal dunia. Orang kampung menyebut kalau suaminya meninggal karena virus Corona.
Mbah Umi yang sudah hafal dengan kesehatan suaminya tak mempedulikannya. Sekalipun suaminya dikebumikan sesuai protokol kesehatan dari rumah sakit.
"Ana Corona apa ora, kabeh uwong mesti mati (Ada Corona apa tidak, semua orang pasti akan mati)," begitu gumamnya.
Mbah Umi sangat sedih ketika tak bisa menunggui suaminya yang dirawat di rumah sakit. Maklumlah, selama ini mereka tak pernah berpisah. Ke sawah selalu bersama. Menikmati nasi lauk sayur lombok dan kerupuk saat tiba waktu makan, sambil melihat padi yang mulai menguning.
Kesedihan Mbah Umi semakin bertambah. Dia tak boleh ke manapun. Padahal dirinya merasa sehat-sehat saja. Sama sekali Mbah Umi buta dengan berita yang seakan meneror mental manusia dua tahun ini.
Beruntungnya Mbah Umi masih memiliki lahan sempit di sebelah utara rumah reotnya. Selama karantina mandiri itu, Mbah Umi menanam ketela pohon dan kacang tanah. Semua dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dan kesedihan karena tak bisa mendampingi suaminya yang sejak lama sakit-sakitan.
***
Bicara tentang Mbah Umi seakan tak ada habisnya. Anak-anaknya sudah sukses semua. Mereka mau merenovasi rumah reot sang ibu.
"Kowe oleh mbubrah omahku nek aku wis kepundhut (kalian boleh mengubah rumahku kalau aku sudah mati)," ujar Mbah Umi yang ditawari rencana oleh sulungnya. Si sulung dipercaya sebagai anak yang paling didengar Mbah Umi. Ternyata, "rayuan" si sulung untuk memperbaiki rumah orangtuanya gagal.
Ya .. seperti saat ada kegiatan bedah rumah dari desa.
"Biar lebih layak, Mbah," pak dukuh mencoba memberikan pengertian kepada warganya ini.
"Gubuk kula taksih layak, pak. Ngapunten. Kula mboten remen menawi dimesakke mekaten (rumah saya masih layak, pak. Maaf. Saya tak mau kalau dikasihani…"
Akhirnya pak dukuh angkat tangan. Beliau sangat menghormati pendirian Mbah Umi. Beliau mengagumi Mbah Umi dan suaminya. Di saat warga lain yang dinilai lebih mampu saja sering ribut kalau dana bantuan tidak segera cair. Mbah Umi dan suami malah berkebalikan.
"Wonten warga ingkang langkung mbetahke bantuan, pak. Kula mboten mawon (Ada warga yang lebih membutuhkan bantuan, pak)."
***
Takbir Idul Adha berkumandang sayup-sayup dari beberapa masjid di kampung Mbah Umi dan sekitarnya.
Aku bersama beberapa warga tengah mempersiapkan kegiatan penyembelihan hewan kurban esok hari. Kembali lagi terngiang di telingaku saat tadi siang aku ke rumah Mbah Umi.
Mbah Umi terlihat bahagia. Senyum terpancar dari wajahnya. Ya... kebahagiaan itu selalu hadir. Apalagi saat Idul Adha seperti kali ini.
"Ini kambing saya, pak dukuh. Tolong dibawakan ke panitia kurban ya…"
Aku tertampar. Rumahku lebih dari kata layak, keuanganku juga lebih layak. Namun aku juga warga lain kalah dengan Mbah Umi yang hampir setiap tahun berkurban.
***
"Kula kepingin digangsarke menawi dipun pundhut Gusti Allah (saya hanya ingin dimudahkan kalau sakaratul maut)," terang Mbah Umi tentang motivasinya berkurban setiap kali Idul Adha tiba.
#Cerpen jora #fiksi idul Adha #kpb #ppb
No comments:
Post a Comment