Pulang Bukan Untukku
Kalau dikatakan dekat, kita memang dekat. Kita sering berkomunikasi meski hanya lewat pesan singkat pada jam-jam tertentu. Meski tak lama, namun kau telah menyemikan kuntum cinta di hatiku.
Sesekali suaramu kudengar jika kau meneleponku. Tak karuan perasaan hatiku. Antara bahagia dan perasaan ragu hinggap di hatiku.
Aku merasa kita dekat tapi tak sepatah kata cinta terucap. Jauh dari semua itu. Seperti jauhnya jarak tempat kerjamu dan tempat kerjaku. Keraguan semakin menjadi.
"Nanti lebaran haji aku pulang lho. Aku ke rumahmu ya," ucapmu suatu saat.
***
Hari demi hari kulalui tanpa ingin memikirkanmu. Tak selalu kupegang ponsel. Aku benar-benar ingin memastikan rasaku.
Kalau sudah kulakukan seperti itu kau kembali intens menghubungiku. Kembali kurasa kalau kau jauh tetapi dekat di hati. Namamu begitu melekat di ingatan. Namun aku tak ingin berharap banyak dari hubungan kita. Keraguan tak bisa hilang dari hatiku.
Benar, Allah sesuai prasangka hambaNya. Ketidakyakinanku atas hubungan kita, berakhir duka di penghujung bulan Dzulhijjah. Di bulan Dzulhijjah atau bulan haji di lingkungan kita sering dimanfaatkan untuk acara walimahan atau pernikahan.
**
"Sekarang ada acara ngundhuh mantu di rumah pak Kirno, dik. Kamu nggak datang?" Sebuah kabar dan pertanyaan dari tetanggamu, yang juga temanku, membuat hancur hatiku.
Ternyata kau pulang untuk menikahi pujaan hatimu. Kau pulang, tapi bukan untukku. Saat itulah aku tersadar bahwa aku memang bukan siapa-siapa bagimu.
Apalah aku bagimu? Apa yang kau ucapkan hanya gurauan yang dengan bodohnya menyelinap pelan ke relung hatiku. Kubiarkan rasa itu semakin dalam.
Anganku yang melayang, tiba-tiba terjerembab begitu saja. Kirno itu nama ayahmu. Pak Kirno juga sahabat karib bapakku saat masih kanak-kanak dulu di kampung kelahiran mereka. Kau satu-satunya putra pak Kirno.
"Selamat bahagia untukmu," bisikku lirih di antara rasa pedih di hatiku.
No comments:
Post a Comment